Kisah PDRI Nyawa "Darurat" NKRI dari Bukittinggi
Malam Selasa, 21 Desember 1948 beberapa pemuda tergopoh-gopoh masuk ke ruangan Soekarno dan beberapa pimpinan berada, memberitahukan serombongan serdadu Belanda sedang berusaha masuk untuk menangkap mereka. Soekarno tetap berusaha tenang, sambil berpikir cepat, siapa yang harus mengambil alih kekuasaan pemerintah jika pucuk pimpinan tertangkap. Indonesia tak boleh bubar!. Soekarno akhirnya mengirim radiogram kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara.
Sebelumnya pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948, Kabinet  mengadakan sidang kilat. Diputuskan pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan, meskipun Jenderal Soedirman menyarankan untuk bergerilya. Â
Sesuai rencana Dewan Siasat, basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatra, Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi.
Perintahnya, membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Sedangkan rencana cadangan lainnya, jika Syafruddin gagal, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Sementara itu, pasukan yang bersandi Operasi Gagak atau Operatie Kraai yang kita kenal sebagai Agresi Belanda II, yang ditugasi menguasai jogja dan menangkap para pimpinan segera bertindak cepat sejak 20 Desember 1948 dengan didahului serangan besar-besaran terhadap Yogyakarta, yang ketika itu menjadi ibu kota Indonesia sementara.
22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin republik yang sudah mereka tangkap untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta.
Dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda. Awalnya mereka diangkut menuju Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (Bandara Depati Amir), menuju Pulau Bangka, dan selanjutnya Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatra Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi, Karo dan Parapat,
Ternyata ini strategi Belanda untuk memutus komunikasi Soekarno dengan para pejuang lain dan ditahan militer Belanda selama 12 hari. Sehingga pemerintahan Republik Indonesia dinyatakan vakum. Bahkan beberapa hari setelah ibukota di Yogyakarta dikuasai Belanda melalui serangan Agresi Militer Belanda II, Republik Indonesia dinyatakan bubar!.
Tapi tidak dengan Sjafruddin Prawiranegara (28 Februari 1911 -- 15 Februari 1989), yang tengah di Bukittinggi. Bersama Kolonel Hidayat dan Mohammad Hasan, mereka meninggalkan Bukittingi menuju Halaban, daerah perkebunan teh, 15 kilometer di Selatan kota Payahkumbuh.
Meskipun radiogram Presiden Soekarno belum diterima, tapi setelah mengetahui dengan pasti Presiden beserta pimpinan pemerintahan lainnya ditawan, bersama pemimpin sipil dan militer di Sumatra Barat, Syafruddin segera meresmikan mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tanggal 22 Desember 1948 di Bidar Alam, Solok Selatan, Sumatra Barat sebagai ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI ), hingga  14 Juli 1949.
Radiogram tentang berdirinya PDRI juga dikirimkan kepada Ketua Konferensi Asia, Pandit Jawaharlal Nehru oleh Radio Rimba Raya di Aceh Tengah pada 23 Januari 1948. Agar menjadi bukti dan saksi sejarah bahwa Republik Indonesia masih eksis.