Kejadian itu menjadi fakta "horor" bagi sekolah berasrama.
Tiga Poin Penting
Masalah pengawasan, senioritas, dan penanganan kasus kekerasan sering menjadi faktor penyebab utama terjadinya kasus. Meskipun di sekolah berasrama memiliki petugas yang bertanggungjawab mengawasi anak didik atau junior di bawahnya, namun dalam beberapa kasus, justru para senior atau pengawas yang menjadi pelaku tindak kekerasan.
Pemilik sekolah berasrama, maupun kepala sekolahnya biasanya mengetahui ada masalah ketika telah menjadi kasus besar. Kasus-kasus kecil yang hanya menyebabkan luka biasa sering diabaikan. Bahkan kekerasan yang menyebabkan siswa junior sakit dan mengalami kekerasan yang fatal juga sering luput dari pengawasan pihak sekolah.
Senioritas masih tetap menjadi momok menakutkan di sekolah berasrama, apalagi jika "kekerasan" melalui plonco atau pengenalan sekolah dilegitimasi oleh pihak sekolah. Dengan tujuan agar siswa mengenal dan patuh dengan aturan sekolah.Â
Namun ukuran-ukuran kekerasan menjadi sangat relatif tergantung seperti apa "ukuran kekerasannya". Misalnya keharusan push up hingga puluhan kali atau pemukulan ringan masih dianggap biasa. Padahal dalam kasus yang terjadi, tidak semua anak memiliki stamina atau memiliki riwayat penyakit yang sama, sehingga tidak bisa diperlakukan sama atau diabaikan keluhannya.
Akibatnya sangat fatal, karena anak yang hanya diperintahkan berlari mengelilingi lapangan satu kali saja bisa berakibat sesak nafas dan bisa menjadi korban, sekalipun sekolahnya berbasis semi militer.
Penanganan kasus kekerasan antara senior dan junior yang tanggung dan tidak berhati-hati, juga menjadi problem tersendiri. Ketika junior di kerasi oleh seniornya dan kemudian dimediasi oleh pihak sekolah, teryata justru menjadi awal kekerasan baru yang dialami junior karena telah melaporkan kepada pengawas sekolah.
Sehingga menjadi pembelajaran bagi siswa lainnya yang mendapat kekerasan lainnya, jika melapor justru akan mendapat ancaman yang lebih fatal. Ini sering menjadi ancaman baru yang lebih mematikan. Dalam beberapa kasus, kematian menjadi endingnya. Jika korban tidak mengambil tindakan kematian sendiri, maka ia menjadi korban kekerasan yang lebih fatal dari pelakunya.
Sehingga pihak sekolah berasrama, harus melakukan pengawasan dan kontrol terus menerus, baik melalui pengawasan secara langsung maupun mendapatkan informasi dari siswa lainnya.
Beruntung di sekolah atau pesantren di anak kami bersekolah saat ini, tidak pernah terjadi kekerasan dalam ketiga kategori tersebut. Beberapa baliho dan papan pengumuman di pojok-pojok sekolah diletakkan sebagai peringatan. Bahkan dengan huruf kapital ukuran besar "Bullying dan kekerasan di pesantren HARAM! dilakukan". Ini sebagai manifestasi dari komitmen pengelola pesantren untuk menindak tegas siapapun santri atau siswa yang kedapatan melakukan kekerasan terhadap siswa lainnya.
Tindakan keras, tidak hanya berupa penyelesaian masalah dengan melibatkan orang tua pelaku, namun juga tindakan tegas mengeluarkan dari sekolah, agar tidak menjadi persoalan laten yang berulang.Â
Penyelesaian kasus, mediasi kasus yang tuntas dan tegas menjadi salah satu solusi menjaga kredibiltas sekolah berasrama, agar tidak menjadi ruang yang memungkinkan terjadinya kekerasan. Segala kemungkinan itu harus dilakukan dan menjadi komitmen bersama, bahkan banyak sekolah berasrama menambahkan fasilitas CCTV sebagai solusi pengawasan para siswanya. Bahkan kepedulian antar siswa menjadi "whistle blower" atas sebuah kejadian kekerasan harus dijaga kerahasiaanya. Sehingga setiap kali terjadi kasus, akan diselesaikan dengan cepat, plus komitmen pengawasan yang ketat.Â
Tiga catatan track record ini, Masalah pengawasan, senioritas, dan penanganan kasus kekerasan bisa menjadi rekomendasi boarding school yang aman untuk anak-anak kita.Â
referensi;Â 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H