Kegigihannya melawan tentara Kerajaan Belanda, membuat ia diburu oleh pasukan elite Belanda, Marsose. Kisah pengejaran yang disertai dengan kisah perang gerilya menjadi cerita utama dalam film ini. Apalagi perang antara rakyat Aceh dan tentara Kerajaan Belanda ini menjadi perang terpanjang dalam sejarah kolonial Hindia Belanda.Â
Namun yang lebih menarik, karena sebagai penonton kita tak hanya disodori kisah perang saja. Â Ada suguhan cerita tentang dilema yang dialami Tjoet Nja' Dhien sebagai seorang pemimpin.
Diujung film diceritakan Pang Laot pengawal setianya yang tidak tega melihat kondisi Cut Nyak yang sakit rabunnya semakin parah, ditambah penderitaan berkepanjangan yang dialami para pejuang Aceh dan keluarga mereka, akhirnya melaporkan keberadaan Cut Nyak Dhien di tempat persembunyan rahasianya.
Film menceritakan bagaimana marahnya Cut Nyak kepada pengawalnya yang dianggap berkhianat. Tapi seperti yang kita lihat, Belanda memperlakukan Cut Nyak sebagai tawanan dengan penuh rasa hormat, tapi Cut Nyak tetap saja merasa harga dirinya terjajah.
Untuk menghindari pengaruh Cut Nyak kepada rakyatnya , Belanda mengungsikannya ke Sumedang-Jawa Barat, hingga sampai meninggal disana.
Tiga Tahun dan Totalitas Pemain
"Mas Eros kirim saya ke sana satu tahun. Saya tinggal sebagian di rumah orang Aceh, terus sebagian lagi di pendopo Bupati Sigli. Saya harus betul-betul disiplin menjaga mood bekerja, tapi juga apa yang sudah peroleh selama riset itu. Apa yang dirasakan Cut Nyak Dhien, apa yang dipikirkan beliau. Saya harus transform menjadi Cut Nyak Dien, itu berat sekali," kata Christine Hakim dalam acara The Legend di Metro Tv.
Begitulah, pendalaman karakter yang luar biasa menyebabkan Christine Hakim baru bisa melepaskan karakter Cut Nyak dari dirinya setelah tiga tahun kemudian. Karakter itu begitu melekat, begitu sangat menjiwainya sehingga dalam  keseharian terbawa-bawa terus.
Inilah mengapa film itu terasa begitu dalam penjiwaan para pemerannya dan sangat kolosal-karen suguhan perang yang terasa nyata, dengan didukung oleh pemilihan lokasi yang sangat pas dengan situasi dan kondisi perang di zaman Cut Nyak dahulu.
Penulis pernah bertemu langsung, setahun silam, ketika film ini rencananya akan di reka ulang menjadi sajian sinema versi baru dengan pemeran yang baru juga. Meskipun akhirnya pandemi menghentikan sejenak rencana besar itu. tapi entah kapan.
Meskipun sajiannya dalam genre sejarah-berisi konflik perang, secara keseluruhan membangun rasa nasionalisme yang luar biasa. Apalagi bagi penonton di Aceh, yang seolah dapat merasakan bagaimana nasionalisme lokal itu membuncah. Melihat sosok Cut Nyak, kegigihan, watak kepahlawana tak kenal menyerah.Â
Ini sebuah tontonan luar biasa, mestinya harus menjadi tontonan wajib untuk mendidik dan menumbuhkan rasa nasionalisme anak-anak di era kekinian yang semakin luntur di makan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H