Beberapa laki-laki tergopoh-gopoh membawa Teuku Umar yang berlumuran darah ke bale-bale. Tak lama kemudian Cut Nyak Dhien datang diantar beberapa prajurit yang diperintahkan sendiri oleh Teuku Umar, sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.Â
Di hadapan Cut Nyak Dhien, Teuku Umar yang sedang sekarat bertanya untuk terakhir kalinya. 'apakah adinda bersedia menjadi istriku, meskipun aku syahid?". Â Cut Nyak yang tak tega melihat kondisi Teuku Umar, menggangguk mengiyakan, disaksikan oleh banyak orang laki dan perempuan.
Teuku Umar kemudian bangkit dari ranjang bale-bale itu, dan dengan tersenyum kemenangan, meminta semua orang menjadi saksi, jika Cut Nyak telah bersedia menerima "lamarannya" dengan tipu muslihat.
Rupanya sejak awal Teuku Umar sudah merencanakan semuanya. Sepulang meraih kemenangan dari pertempuran dengan Belanda dengan merebut banyak senjata, Teuku Umar meminta prajuritnya melumuri pakaiannya dengan darah ayam!.
Begitulah sepenggal catatan dari buku "Tjoet Nja' Dhien", sebuah buku fiksi sejarah yang aku temukan di sebuah toko buku tua. Sayang buku itu kemudian hilang.
Kisah itu begitu menarik, tapi dalam film kolosal "Tjoet Nja' Dhien" , yang diperankan oleh Christine Hakim, Teuku Umar (Slamet Rahardjo) dan Pang Laot (Pietrajaya Burnama), didukung oleh Rudy Wowor-berperan sebagai Veltman (Panglima Belanda), potongan kisah yang sangat fiksi itu tidak pernha dimunculkan. Atau memang sebenarnya tidak ada.
Jadi, setelahnya saya pikir pastilah ini hanya sebuah rekayasa imajinatif si pengarangnya.
Tjoet Nja' Dhien adalah film drama epos biografi sejarah Indonesia tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot. Film ini memenangkan Piala Citra sebagai Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1988.Â
Film ini sempat diajukan Indonesia kepada Academy Awards ke-62 tahun 1990 untuk penghargaan Film Berbahasa Asing Terbaik, tetapi tidak lolos dalam pencalonan nominasi. Tapi film ini menjadi film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (1989).
ilustrsi-film cut nyak din-merdeka.com
Sinopsis
Sepeninggal suami pertamanya Teuku Ibrahim Lamnga, karena meninggal dalam peperangan, untuk melanjutkan perjuangan Cut Nyak Dhien kemudian menikah dengan Teuku Umar. Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Ibarahim Lamnga, putra Imam Lamgna, keturunan bangsawan Lamgna dan Pulau Wai yang kaya raya di tanah Aceh di tahun 1858, dalam usia sepuluh tahun.Â
Namun kecantikan dan sikap tegasnya sebagai seorang pemimpin sangat menonjol pada dirinya. Tapi sesuai adat ia baru bisa berkumpul dengan suaminya saat dewasa.Â