Peristiwa kejahatan seksual-gang rape yang tragis dan paling menyita perhatian publik di tahun 2004, adalah kasus pemerkosaan di Miryang, Korea Selatan yang menimpa Choi (14 tahun). Sebagai pembelajaran penting bagi publik, kisah Miryang Gang Rape ini kemudian diangkat dalam film Hang Gong Ju (2013).Â
Filmnya berkisah tentang gadis remaja (Gong Ju) korban pelecehan seksual yang tengah mencari sekolah baru. Berusaha bangkit dan beradaptasi dengan teman-teman barunya. Sayangnya, Gong Ju justru dikejar-kejar para orang tua pelaku yang menuntut agar anaknya dibebaskan, karena sudah memberikan kompensasi uang damai.
Dalam kisah sebenarnya, keluarga korban melakukan segala cara untuk mendapat keadilan dengan berbicara kepada polisi wanita dengan harapan agar dapat mengerti apa yang dirasakan oleh korban. Ternyata yang terjadi justru para polisi tersebut hanyalah melakukan"ping pong."Â
Kasus ini semakin tidak menentu dan tidak menemukan titik terang, justru yang terjadi keluar pernyataan yang menyudutkan dari mulut salah satu polisi yang semakin membuat korban semakin terpukul, "Did you try to entice the guys? You ruined the reputation of Miryang. The boys who would be leading the city in the future are now all arrested thanks to you. What are you going to do? [...] I am afraid that my daughter will turn out like you."
"Apakah kamu mencoba menarik perhatian para pria? Anda merusak reputasi Miryang. Anak laki-laki yang akan memimpin kota di masa depan sekarang semuanya ditangkap berkat Anda. Apa yang akan kamu lakukan? [...] Saya takut putri saya akan menjadi seperti Anda."
Lebih fatal lagi, korban dipertemukan dengan para pelaku, tanpa cermin satu arah, sehingga membuat korban depresi berat dan harus menjalani terapi psikologi. Tapi peristiwa itu berbuntut penetapan oleh pengadilan, petugas poliri dianggap bersalah dan diharuskan membayar kompensasi sebesar 70 juta won. Kasus Choi akhirnya berhenti begitu saja dengan uang sebesar 70 juta won lebih.
Apa itu Gang Rape?
Terjadinya perkosaan yang dilakukan beramai-ramai menimbulkan tanda tanya besar, apa yang menjadi pemicunya dan mengapa eskalasi kasusnya semakin naik. Dari sisi psikologi sosial dan remaja, gang rape adalah bentuk kejahatan seksual terhadap satu korban di mana pelakunya berjumlah lebih dari satu atau banyak orang.
Menurut seorang psikolog forensik, direktur Eksekutif New York Forensics, NG Berrill, kemunculan perilaku ini pada awalnya dilakukan tidak terencana, tapi didorong oleh rasa solidaritas yang tumbuh antar anggota kelompok. Konsekuensi seorang anggota gang yang tidak mengikut aturan kelompok akan dianggap 'pengecut', yang dapat meruntuhkan dignitas dan harga dirinya.
Tak sedikit kasus kejahatan jenis ini di Indonesia. Komnas Perlindungan Anak menyebutkan kasus gang rape semakin banyak terjadi sejak 2015. Kasus yang berhasil dideteksi pada 2015, setidaknya meliputi 44 kasus dengan 9 korban meninggal dunia; di tahun 2016, terdapat 82 kasus dengan 11 korban meninggal; dan pada 2017, terdapat 26 kasus dengan 3 korban meninggal.
Mengerikannya kasus ini, karena korbannya sering menimpa remaja bahkan anak-anak. Demikian juga para pelakunya, dalam kondisi masa transisi, remaja dan anak-anak masih labil, dari sisi cara berpikir dan sisi emosionalnya. Mereka rentan untuk berperilaku negatif tanpa pertimbangan nalar dan tidak memahami konsekuensi hukumnya.
Apalagi jika latar belakang pola asuh keluarga, kondisi sosial ekonomi yang buruk dapat menjadi pemicu kemunculan pelaku kejahatan ini atau korban dari kejahatan ini.
Ada pandangan masyarakat, dimana laki-laki dikonstruksikan secara sosial untuk selalu menjadi 'pemenang' dalam semua hal, sehingga perannya harus dominan dan sentral. Inilah sesuatu yang dianggap menyalahi akal sehat, karena terindikasi kelompok lebih mengkuatirkan reputasi kelompok daripada individu secara personal.
Menurut sosiolog Beth Quinn dari University Colorado, ini bukan sesuatu yang aneh, karena gang rape merupakan bentuk nyata dari maskulinitas hegemonik untuk mengontrol atau mendominasi korban. Akibat adanya dominasi nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang memandang perempuan dan anak perempuan sebagai warga masyarakat kelas dua, yang secara sosial politik tidak memiliki kontrol kuasa.
Seolah dengan privilese yang mereka miliki berhak mengontrol dan mendominasi korban, melalui tindak pemerkosaan yang mereka lakukan.Â
Ciri khas tindakan kekerasan ini para pelaku melakukan kejahatan seksual secara bergilir dan mengamati pelaku lain yang sedang melakukan aksinya tanpa ada rasa bersalah. Perilaku ini dikenal dengan "bystander effect" atau adanya sikap apatis akut dari pelaku yang tidak berperikemanusiaan.
Apa yang menjadi pemicunya. salah satunya adalah  hilangnya rasa empati masyarakat terhadap tindak perkosaan yang terjadi. Pembiaran ini merupakan budaya permisif yang terbangun dalam masyarakat yang mengarah pada pelangggengan terhadap kekerasan, yang dipicu oleh perubahan sosial dan tekanan ekonomi.
Sebab lainnya, terdapat praktek "blaming the victim", dimana korban justru sering disalahkan atas kasus pemerkosaan yang dialaminya. Seperti apa yang dialami Choi dalam kasus Miryang. Jika terjadi kasus, korban dipersalahkan sebagai pemicu kejadian.Â
Apa Solusinya
Fenomena gang rape adalah tindak kekerasan yang sangat kompleks dan faktor penyebabnya bersifat multidimensi. Ketika masyarakat semakin kehilangan empati dan tidak memiliki rasa kesetaraan kepada sesama, membutuhkan mitigasi yang tidak sederhana.
Mitigasi dilakukan secara sinergis, dengan melibatkan semua pihak, baik pemerintah, parlemen, akademisi, ulama dan masyarakat. Intervensi strategis dapat dilakukan dengan; Membangun kesadaran publik atas segala bentuk kejahatan seksual dengan segala konsekuensinya secara sosial dan hukum.
Tindakan hukum yang tegas atas pelaku kejahatan, dengan memberikan hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Agar ada efek jera bagi pelaku, dan impunitas bagi pelaku yang melanggengkan kejahatan seksual;
Kita juga harus mendorong tumbuhnya kesadaran publik agar melaporkan segala tindak kejahatan yang dialaminya. Kesadaran ini juga harus didukung oleh peningkatan pemahaman kepada masyarakat tentang tindakan yang harus dilakukan apabila menjadi korban, karena hak-hak mereka juga dilindungi oleh negara.
Penguatan fungsi keluarga dan komunikasi dengan menjadikan publik sebagai "community watch" sekaligus "advocate" dalam menciptakan ruang dan lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak. Keterlibatan publik menjadi faktor penting agar kejahatan jenis ini dapat terdeteksi dengan cepat dan korban mendapatkan penanganan, serta  bantuan hukum yang diharapkan.
referensi;1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H