Ibarat berusaha ikut makan nangka, tapi takut kena getahnya. Kurang lebih itulah dilema yang dialami institusi Polri saat ini. Dilema polri mengusut tuntas kematian Brigadir J, tapi korps tak boleh tercoreng. Hampir tak ada cara mudah, karena coreng-moreng itu sudah terlanjur mulai muncul, sejak 11 Juli 2022, persisnya 3 hari sejak kasus disembunyikan FS dari tanggal 8 Juli 2022.
Kejadian-kejadian selanjutnya makin mengokohkan adanya "permainan".
Pencabutan kuasa hukum pengacara Bharada Eliezer, Deolipa Yumara, sebenarnya bukan perkara sepele seperti mutasi jabatan. Ini pertaruhan kredibilitas nama Polri. Ketika pencabutan dilakukan atas sebuah alasan yang tidak masuk akal, terburu-buru atau dilakukan secara sepihak, langsung mengindikasikan adanya masalah.Â
Atau upaya menutupi masalah dengan merancang sebuah "skenario baru" dalam bentuk versi yang dapat disinkronkan dengan rencana besar "entah apa" yang sedang "dikondisikan" terkait kasus kematian Brigadir Joshua dan keterlibatan Irjen Ferdy sambo yang membuat institusi Polri terkena getahnya.
Apakah ini sekedar bagian dari pergumulan psikologi Bharada E?. Bisa jadi iya, sesederhana itu alasannya. Tapi sesungguhnya kejadian ini sangat kompleks dari sisi hukum dan upaya penyelesaian kasus besar ini.
Ini artinya ranah penyelesaian kasus juga berkaitan dengan upaya menjaga citra korps kepolisian dari pencemaran nama baiknya. Apalagi setahun belakangan Kapolri sedang mendorong sebuah reformasi besar-besaran melalui "Polri Presisi"-jargonya berakar pada; prediktif, responsibilitas, transparasi, dan berkeadilan membuat pelayanan dari kepolisian lebih terintegrasi, modern, mudah, dan cepat.Â
Memainkan Jiwa Korsa
Adalah kultur yang lazim jika keluarga besar kepolisian terkena sebuah kasus yang dapat mencoreng nama besarnya, mau tidak mau institusi akan berusaha menjaga nama besarnya korpsnya, yang biasanya dipertontonkan sebagai Code of Silence atau kode senyap, meskipun ini adalah sebuah penyimpangan. Dalam bahasa sederhana bisa saja dipahami, berbohong untuk kebaikan.
Kode senyap,  merupakan subkultur menyimpang yang cenderung dilakukan oleh sesama anggota Polisi untuk menutup-nutupi suatu kesalahan yang dilakukan.
Dalam kasus pembunuhan berencana atas korban Brigadir J, para tersangka yang berjumlah banyak, bisa jadi pada awalnya akan bersikukuh dengan peran masing-masing sesuai skenario.Â
Ketika pasal-pasal yang dikenakan kepada masing-masing tersangka sangat berat, secara perlahan jiwa korsa mulai goyah, karena masing-masing orang akan bertanggungjawab secara pidana, sesuai tindak kejahatan yang dilakukannya.
Pergeseran dari Pasal 338 ke 440, bisa saja akan merubah situasinya menjadi selamatkan diri masing-masing (SDM). Maka buyarlah rasa memiliki kesatuan, karena tak ada lagi pelindung dari jeratan hukum yang menimpanya. Termasuk perlindungan dari kepala institusi Polri. Artinya siapa bersalah harus bertanggungjawab.
Indikasi inilah salah satu alasan mengapa Bharada Eliezer akhirnya "bernyanyi" karena ia tak mau menanggung sendiri akibat dari kasus ini. Sekalipun dengan adanya unsur paksaan dalam melakukan eksekusi pembunuhan, dapat meringankannya.
Namun seperti disampaikan Kemenpolhukam, Mahfud MD, hukuman bagi Bharada Elisezer bisa besar atau kecil tergantung dari hasil pemeriksaan penyidikan. Apakah akrena terpaksa di  bawah ancaman dan perintah pimpinan yang setingkat Jendral bintang dua, sementara ia hanya seorang Bharada.
Atau, jika Bharada Eliezer tanpa pikir panjang langsung melakukan eksekusi, akan punya konsekuensi lain yang dapat menjeratnya.
Bermain Kode Senyap
Denzel Washington dalam Man on Fire (2004), bisa menggambarkan bagaimana Kode Senyap dilakukan, dan ini juga jamak dijadikan ide film.  Sekelompok polisi jahat kongkalikong dengan pejabat sebagai pelaku kriminal yang tersembunyi di balik topeng organisasi La Hermandad. Organisasi itu menerapkan code silent untuk menutupi semua jejak kejahatannya.
Dalam acara Rossi di Kompas tv; jejak kompolnas "bela" sambo , terlihat bagaimana budaya code of silence-kode senyap sedang dimainkan dengan sangat hati-hati. Pada saat seluruh Indonesia melihat ada gelagat mencurigakan setelah kasus baru diungkap atau dirilis ke publik 3 hari setelah kejadian, kompolnas justru menyatakan "tak ada kejanggalan" dari kasus kematian Brigadir Joshua. Terlepas dari alasan "kesilapan", tanpa check dan konfrontir bukti pendukung laporan, hanya didasarkan pada reputasi seseorang yang dikenalnya.
Ketua Harian Kompolnas Irjen (Purn) Benny Mamoto, menyampaikan "saya turun langsung, mendengar dari tim penyidik Polres Jakarta Selatan dan Kaserse, saya merasa perlu turun karena banyaknya silang informasi yang membuat bingung masyarakat hingga saya turun langsung ".
Padahal semestinya polisi adalah pihak yang paling kepo dan tak mau begitu saja menerima sebuah kasus apalagi ini begitu "istimewa". Bahkan akan menggunakan investigasi sebagai uji kasusnya.
Menurut kritik Rossi, sejatinya kompolnas bertugas untuk mendengar aspirasi masyarakat terhadap kinerja polisi, dalam kasus ini kompolnas bukan jubir Polres. Meski tak punya kewenangan penyelidikan, tapi substansi persoalannya bukan pada soal kewenangan itu, tapi sebagai pihak yang memberi masukan pada presiden, Â memberikan arahan pada kebijakan presiden soal kepolisian negara RI.
Tapi dalam kasus besar ini kompolnas justru terkesan membela Sambo dan menunjukkan ketidak netralannya. Seharusnya jika bersikap netral, selain mendengar klarifikasi dari Polres Jakarta Selatan, juga mendengarkan versi keluarga korban, seperti apa yang terjadi.
Seperti bukti digital berupa percakapan telepon dan beberapa bukti rekaman pembicaraan antara Brigadir Sambo dan Calon istrinya yang menyebutkan adanya ancaman. Fakta ini ternyata justru "diabaikan", padahal fakta ini sangat vital untuk membuat pihak kepolisian penasaran. Tapi, jika kasusnya bukan melibatkan korps-nya.
Rossi dalam debat itu juga bersuara kritis, mestinya kompolnas semestinya check and ricek dulu, baru rilis berita, bukan langsung-jumping to conclusion, menyimpulkan kasus, karena ini bukan kasus biasa.Â
Pada akhirnya fakta yang terjadi semuanya mentah, ketika Bharada Eliezer mulai bernyanyi dan benarlah dugaan publik, seluruh skenario versi Sambo adalah skenario bodong dan ada udang di balik batu. Dan Jenderal berbintang dua menjadi tersangka utama kasus pembunuhan ajudannya.
Kejadian itu membuat citra kompolnas dan kepolisian menjadi buruk di mata publik. Bagaimana mungkin kepolisian tidak mencium adanya gelagat konspirasi sebuah kasus besar?. Sementara publik yang jauh dari fakta-fakta itu bisa mencium aroma busuk sebuah kasus, meski hanya didasari sebuah analisa dan praduga dari fakta-fakta yang didengar dan disaksikan di media.
Pada akhirnya debat ini juga sampai pada konklusi, pihak kolponas juga merasa dikadali oleh tersangka Ferdy sambo. Apalagi ketika debat sampai pada beberapa fakta dan bukti temuan lain yang semakin menyudutkan posisi institusi polri.
Fakta kunci menarik lainnya, kasus baru dibuka tiga hari setelah kejadian, dengan fakta mencengangkan, tak ada satupun bukti CCTV yang dapat dihadirkan sebagai barang bukti. Di rumah seorang kadivpropam yang dilengkapi dengan pengawalan berlapis, CCTV tak dianggap sebagai senjata penting pengawas?. Bukankah ini fakta yang absurd?.
Terjadi di rumah seorang kadivpropam, dilakukan oleh ajudannya dan dibantu personil lain. Sampai seorang pengamat polisi senior menyatakan, baru kali ini di dunia ada kasus polisi tembak polisi, yang mati CCTV.
Tentu saja pernyatan itu adalah bentuk dari kritik dan ketidakpercayaannya atas kasus yang sedang ramai dibicarakan publik. Namun yang menarik adalah bahwa ada hampir satu suara muncul dari pihak kepolisian tentang awal kasus itu, ada pembunuhan, tembak menembak, dan pelecehan seksual!.
Fakta lain yang menarik dan berbahaya bagi nama besar Polri, gara-gara kasus ini, kasus-kasus yang pernah ditangani Ferdy Sambo seperti KM 50 dan "keberhasilan" penanganan kasus-kasus besar lainnya, menjadi diragukan publik.Â
Skenario ala Ferdy Sambo,  didasarkan pada teori simetrik, memiliki kesamaan dalam penanganan kasus. Penutupan jejak kasus ditutup dengan jejak baru. Menghapus jejak artinya membuat jejak baru, dan ini tidak disadari oleh semua pihak yang terlibat dan menyelesaikan kasus, namun  "menjadi bagian" dari Code Silent itu. Semua menjadi terlihat seperti dikondisikan, kasus pelecehan tak lagi digunakan, diganti skenario baru. Membuat kasus ini beraroma tambah aneh dan absurd.
Padahal seperti pengakuan seorang purnawirawan Polri, kasus ini sebenarnya sangat sederhana. Merujuk pada TKP, penghilangan bukti dan saksi serta terdakwa yang sudah masuk dalam list, setingkat Polsek dapat bertindak menanganinya.
Demi adanya sisi psikologi internal di tubuh Polri yang harus dijaga martabatnya, maka semuanya menjadi terkesan begitu blunder dan rumit.
Tapi, kita tetap menunggu akhir dari skenario kasus besar ini disajikan di depan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H