Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Sambo Makan Nangka, Korps Kena Getahnya

15 Agustus 2022   09:00 Diperbarui: 25 Agustus 2022   08:57 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar-tangkapan layar-kompastv

Pada akhirnya debat ini juga sampai pada konklusi, pihak kolponas juga merasa dikadali oleh tersangka Ferdy sambo. Apalagi ketika debat sampai pada beberapa fakta dan bukti temuan lain yang semakin menyudutkan posisi institusi polri.

Fakta kunci menarik lainnya, kasus baru dibuka tiga hari setelah kejadian, dengan fakta mencengangkan, tak ada satupun bukti CCTV yang dapat dihadirkan sebagai barang bukti. Di rumah seorang kadivpropam yang dilengkapi dengan pengawalan berlapis, CCTV tak dianggap sebagai senjata penting pengawas?. Bukankah ini fakta yang absurd?.

Terjadi di rumah seorang kadivpropam, dilakukan oleh ajudannya dan dibantu personil lain. Sampai seorang pengamat polisi senior menyatakan, baru kali ini di dunia ada kasus polisi tembak polisi, yang mati CCTV.

Tentu saja pernyatan itu adalah bentuk dari kritik dan ketidakpercayaannya atas kasus yang sedang ramai dibicarakan publik. Namun yang menarik adalah bahwa ada hampir satu suara muncul dari pihak kepolisian tentang awal kasus itu, ada pembunuhan, tembak menembak, dan pelecehan seksual!.

Fakta lain yang menarik dan berbahaya bagi nama besar Polri, gara-gara kasus ini, kasus-kasus yang pernah ditangani Ferdy Sambo seperti KM 50 dan "keberhasilan" penanganan kasus-kasus besar lainnya, menjadi diragukan publik. 

Skenario ala Ferdy Sambo,  didasarkan pada teori simetrik, memiliki kesamaan dalam penanganan kasus. Penutupan jejak kasus ditutup dengan jejak baru. Menghapus jejak artinya membuat jejak baru, dan ini tidak disadari oleh semua pihak yang terlibat dan menyelesaikan kasus, namun  "menjadi bagian" dari Code Silent itu. Semua menjadi terlihat seperti dikondisikan, kasus pelecehan tak lagi digunakan, diganti skenario baru. Membuat kasus ini beraroma tambah aneh dan absurd.

Padahal seperti pengakuan seorang purnawirawan Polri, kasus ini sebenarnya sangat sederhana. Merujuk pada TKP, penghilangan bukti dan saksi serta terdakwa yang sudah masuk dalam list, setingkat Polsek dapat bertindak menanganinya.

Demi adanya sisi psikologi internal di tubuh Polri yang harus dijaga martabatnya, maka semuanya menjadi terkesan begitu blunder dan rumit.

Tapi, kita tetap menunggu akhir dari skenario kasus besar ini disajikan di depan kita.

referensi: 1,2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun