Namun seperti disampaikan Kemenpolhukam, Mahfud MD, hukuman bagi Bharada Elisezer bisa besar atau kecil tergantung dari hasil pemeriksaan penyidikan. Apakah akrena terpaksa di  bawah ancaman dan perintah pimpinan yang setingkat Jendral bintang dua, sementara ia hanya seorang Bharada.
Atau, jika Bharada Eliezer tanpa pikir panjang langsung melakukan eksekusi, akan punya konsekuensi lain yang dapat menjeratnya.
Bermain Kode Senyap
Denzel Washington dalam Man on Fire (2004), bisa menggambarkan bagaimana Kode Senyap dilakukan, dan ini juga jamak dijadikan ide film.  Sekelompok polisi jahat kongkalikong dengan pejabat sebagai pelaku kriminal yang tersembunyi di balik topeng organisasi La Hermandad. Organisasi itu menerapkan code silent untuk menutupi semua jejak kejahatannya.
Dalam acara Rossi di Kompas tv; jejak kompolnas "bela" sambo , terlihat bagaimana budaya code of silence-kode senyap sedang dimainkan dengan sangat hati-hati. Pada saat seluruh Indonesia melihat ada gelagat mencurigakan setelah kasus baru diungkap atau dirilis ke publik 3 hari setelah kejadian, kompolnas justru menyatakan "tak ada kejanggalan" dari kasus kematian Brigadir Joshua. Terlepas dari alasan "kesilapan", tanpa check dan konfrontir bukti pendukung laporan, hanya didasarkan pada reputasi seseorang yang dikenalnya.
Ketua Harian Kompolnas Irjen (Purn) Benny Mamoto, menyampaikan "saya turun langsung, mendengar dari tim penyidik Polres Jakarta Selatan dan Kaserse, saya merasa perlu turun karena banyaknya silang informasi yang membuat bingung masyarakat hingga saya turun langsung ".
Padahal semestinya polisi adalah pihak yang paling kepo dan tak mau begitu saja menerima sebuah kasus apalagi ini begitu "istimewa". Bahkan akan menggunakan investigasi sebagai uji kasusnya.
Menurut kritik Rossi, sejatinya kompolnas bertugas untuk mendengar aspirasi masyarakat terhadap kinerja polisi, dalam kasus ini kompolnas bukan jubir Polres. Meski tak punya kewenangan penyelidikan, tapi substansi persoalannya bukan pada soal kewenangan itu, tapi sebagai pihak yang memberi masukan pada presiden, Â memberikan arahan pada kebijakan presiden soal kepolisian negara RI.
Tapi dalam kasus besar ini kompolnas justru terkesan membela Sambo dan menunjukkan ketidak netralannya. Seharusnya jika bersikap netral, selain mendengar klarifikasi dari Polres Jakarta Selatan, juga mendengarkan versi keluarga korban, seperti apa yang terjadi.
Seperti bukti digital berupa percakapan telepon dan beberapa bukti rekaman pembicaraan antara Brigadir Sambo dan Calon istrinya yang menyebutkan adanya ancaman. Fakta ini ternyata justru "diabaikan", padahal fakta ini sangat vital untuk membuat pihak kepolisian penasaran. Tapi, jika kasusnya bukan melibatkan korps-nya.
Rossi dalam debat itu juga bersuara kritis, mestinya kompolnas semestinya check and ricek dulu, baru rilis berita, bukan langsung-jumping to conclusion, menyimpulkan kasus, karena ini bukan kasus biasa.Â
Pada akhirnya fakta yang terjadi semuanya mentah, ketika Bharada Eliezer mulai bernyanyi dan benarlah dugaan publik, seluruh skenario versi Sambo adalah skenario bodong dan ada udang di balik batu. Dan Jenderal berbintang dua menjadi tersangka utama kasus pembunuhan ajudannya.
Kejadian itu membuat citra kompolnas dan kepolisian menjadi buruk di mata publik. Bagaimana mungkin kepolisian tidak mencium adanya gelagat konspirasi sebuah kasus besar?. Sementara publik yang jauh dari fakta-fakta itu bisa mencium aroma busuk sebuah kasus, meski hanya didasari sebuah analisa dan praduga dari fakta-fakta yang didengar dan disaksikan di media.