Tapi ada kalanya, keinginan menuntaskan sebuah buku "tergoda" isu lain, dan "beralih ke lain hati" sesaat. Seperti ketika, musibah menimpa putra sulung Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, seketika muncul gagasan sebuah catatan perjalanan waktu untuk-almarhum Emmeril Khan Mumtadz-Emil.Â
Data begitu mudahnya "diburu" dengan bantuan akses internet IndiHome sebagai "mitra kerja" yang selalu bisa aku andalkan sebagai kunci memburu "kecepatan" saat searching-download data yang bertaburan di media daring.
Padahal di awal menjadi penulis pembelajar-debutan di sekolah menengah, sebuah mesin ketik manual Royal, sebagai tumpuan. Berburu referensi bolak balik ke perpustakaan, atau ke pedagang loper koran langganan-bukan untuk membeli, tapi numpang membaca headline terbaru media.Â
Tak terbayangkan jika beberapa tahun berikutnya, mengenal floppy disk, dos, sebagai lompatan teknologinya, di kotak-kotak mesin yang kemudian dikenal sebagai Personal Komputer.
Kini dengan IndiHome, manfaat internet bisa dinikmati di rumah, begitu mudah, begitu cepat. Sehingga memunculkan revolusi baru cara berpikir yang bebas, borderless, bahkan ketika dunia lain tidur, kita masih bisa bekerja, berbisnis, berkarya, berkomunikasi. Dunia nyaris tak tidur dalam gengaman internet, sejauh kita bisa mengendalikannya, seperti sebuah mata pisau.
Saatnya Berbagi, Saatnya Berjaringan
Dengan bantuan IndiHome, aku bergabung di ruang-ruang menulis maya, Kompasiana (2011), medium (2022), muckrack, goodreads, penerbit kompas gramedia, penerbit indie, kantor berita media lokal. Bahkan seiring perjalanan waktu, aku pun tengah mengagas sebuah inisiatif lembaga berbagi buku.Â
Awal idenya dimulai dari nama booklife-kampanye mouth to mouth, dengan relasi dan kedekatan, hape sebagai sarana komunikasi utama. Tapi kini aku serius memulai gagasannya melalui nama baru "walkingbook.org."
Harapan ketika menginisiasinya sangat sederhana, Â sebuah impian, buku-buku donasi bergerak dari rumah-rumah orang yang peduli untuk berbagi, dan kami menjadi medium penyampai amanah kepada siapapun, dan dimanapun, terutama anak-anak di daerah 3T (terpencil, terluar dan tertinggal) Indonesia.
Termasuk gagasan "bookbox", sebuah cara smart mengedukasi masyarakat mengelola sampah terpilah dan me-recycle-nya menjadi buku. Rencana kedepan masih berupa embrio, sebatas desain bookbox-nya, dan persiapan media sosial pendukungnya. Namun dalam beberapa pertemuan dengan para pemilik kafe kopi di Aceh, sedang dirintis sounding gagasannya.
Universitas Kopi, Moumou Coffeee, Daphue Kupi adalah beberapa mitra yang telah dijajaki untuk memulai gagasan itu. Perlahan tapi pasti!. Meski aku belum menggunakan media apapun, baik website, IG, facebook sebagai mediumnya, karena masih fokus pada rancangan programnya. Tapi tunggu saja!. Apalagi saat ini fokus utamaku tetaplah resolusi 99 buku itu!.