koreksinews
Kasus minyak goreng memang aneh bin ajaib. Jika sebelumnya, polemik yang muncul sebagai biang kisruh masalah minyak goreng kita adalah, dugaan para kartel-mafia yang menyembunyikan minyak goreng, ternyata dipatahkan dengan berita baru "orang dalam" pemerintah sendiri yang  terlibat menjadi pelaku jutamanya. Kasus ini adalah preseden buruk bagi pemerintah.
Orang Dalam Pemerintahan
Terbongkarnya kasus migor, dengan keterlibatan orang dalam-pejabat pemerintah, sebagai dalang kisruh kelangkaan minyak goreng, menjadi pukulan telak bagi pemerintah sendiri, seklaipun dilakukan oknum.
Kebijakan yang diputuskan oknum Dirjen Kemendag membuat para pengusaha minyak goreng lebih memilih menjual jatah minyak gorengnya untuk bio solar karena lebih mahal, terlebih adanya jaminan dan subsidi dari pemerintah sendiri.Â
Akibatnya minyak goreng lenyap dari pasaran. Bahkan kementerian perdagangan menyerah kalah dalam urusan polemik minyak goreng ini. Apakah itu artinya benar bahwa, sejak lama ada dugaan orang dalam pemerintahan yang bermain, sehingga kementerian sendiri tak mau terbuka?.
Sebagai bentuk komitmennya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memang pernah berjanji mengungkap siapa saja mafia minyak goreng sebagai penyebab kelangkaan, dan akan bekerjasama dengan pihak kepolisian untuk membongkarnya.
Akhirnya pihak kejaksaan yang kemudian merilis para tersangkanya. Menurut sumber resmi dari Kejaksaan Agung, IWW adalah inisial tersangka dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen PLN Kemendag), yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng sawit.
Selaku pejabat Kemendag, IWW menerbitkan izin persetujuan ekspor kepada tiga perusahaan. Pengeluaran izin tersebut dituduh melawan hukum.Â
Langkah kebijakan pejabat kemendag, tidak berpedoman pada pemenuhan kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri sehingga harga penjualan di dalam negeri melanggar batas harga.Â
Sedangkan 3 rekanannya yang diduga mendapat gratifikasi dalam pemberian izin persetujuan ekspor, berasal dari 3 perusahaan yang berbeda; MPT (Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia), SMA (Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup (PHG), dan PT (General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas).Â
Mereka dituding sebagai biang keladi polemik minyak goreng kita yang dampakya masih terasa hingga saat ini.
Minyak goreng menjadi komoditi yang harganya tetap mahal, masih langka dipasaran dan mengganggu ekonomi secara keseluruhan, karena memancing inflasi, menyebabkan  penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng.
Realitasnya ketika harga minyak goreng sudah murah, justru langka dipasaran, ketika demand-permintaan naik, dengan segera pasar akan banjir dengan minyak goreng, namun harganya sudah di mark up!.
Kebijakan Melawan Hukum
Perusahaan-perusahaan yang di beri kewenangan oleh oknum Kemendag, ternyata bukanlah perusahaan eksportir yang berhak mendapat persetujuan ekspor.Â
Perusahaan tersebut selama ini sudah berperan sebagai perusahaan yang mendistribusikan CPO atau RDB Palm Oil, namun tidak sesuai dengan harga penjualan dalam negeri atau DPO (Domestic Price Obligation) dan DMO (Domestic Market Obligation).