Secara makro, kebijakan pemerintah masih dianggap sebagai jalan tengah, jika belum tepat disebut sebagai "win-win solution", terutama ketika dikomparasi dengan kepentingan publik dan transisi ekonomi yang masih bergerak lamban. Mengapa demikian?.
Jika melihat ketetapan tarif PPN global diangka 15,4 persen, PPN kita terbilang masih kecil-meski ukuran itu sangat relatif, jika didasarkan pada kekuatan daya dukung dan kondisi ekonomi di masing-masing negara. Ini poin penting yang harus digarisbawahi.
Kebijakan itu juga dianggap tidak tepat momentum, karena hadir menjelang Ramadhan dan lebaran, dua momen penting kita sepanjang tahun yang kompleks persoalan ekonominya. Kondisi itu, mungkin akan sedikit didukung dengan stimulan berbelanja, berkat tambahan Tunjangan Hari Raya (THR) yang diterima oleh jutaan PNS kita, jelang lebaran.
Mau tidak mau permintaan-penawaran akan naik selama masa tersebut dan akan bergerak ke bandul positif. Jumlah uang beredar akan bertambah, sehingga permintaan meningkat.Â
Jika pemerintah "berharap"mendapatkan pemasukan PPN lebih banyak dalam momentum itu, meskipun logis, namun dampak inflasinya juga harus menjadi pertimbangan yang kritis.
Terutama karena multiplier effect, inflasi akan menguras pendapatan masyarakat, dan setelahnya situasi bahkan bisa menjadi lebih buruk. Ini menjadi diskursus menarik untuk diperdebatkan.
Benahi Dulu Urusan Makro lainnyaÂ
Pertama; Persoalan yang cukup substansial juga terjadi dalam skema ketimpangan barang kena pajak antara online dan offline. ini penting menjadi catatan, karena menjadi alternatif yang dapat menggeser orientasi publik untuk "patuh" pada ketentuan baru PPN 11 persen, namun "tersedia" alternatif yang dapat menggeser capaian target Pemerintah atas inisiatif PPN 11 persen itu.
Perlakuan PPN 11 persen, meski kenaikan hanya 1 persen, namun bisa saja menggerakan alternatif pembeli untuk masuk ke pasar online. Penetrasinya akan semakin menguat, apalagi ada dorongan promo seperti Harbolnas yang memainkan momentum Ramadhan dan lebaran.
Kita pahami bahwa polemik soal PPN dalam ranah dagang online-offline masih menjadi fokus pemerintah yang belum tuntas. Sejauh ini, PPN online tidak ditagihkan kepada konsumen, tapi dibayar oleh pihak pelaku usaha badan dalam bentuk pajak yang ditanggung. Sedangkan pelaku usaha non badan bebas PPN.
Kesenjangan ditingkat para pelaku usaha badan dan para penjual online, tentu saja berdampak pada harga jual. Dan kondisi ini akan digunakan secara optimal oleh kedua belah pihak, pembeli ingin diskon dan harga murah, dan produsen-pedagang ingin bebas pajak.
Kedua; Persoalan, ada kategori jenis Barang dan Jasa Tidak Kena Pajak. Terutama barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, karena masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar PPN atas kategori barang dan jasa tersebut.
Hal ini karena bagian tanggung jawab dan bentuk layanan yang ketersediaannya harus diakomodir dan dikontrol langsung oleh pemerintah.Â
Sedangkan beberapa barang kebutuhan pokok level menengah keatas akan dikenakan PPN 11%, sebagai perimbangan keadilan secara sosial.
Ketiga; Literasi Keuangan-Pajak yang rendah. Jika merujuk pada persoalan makro ekonomi, kebijakan PPN 11 persen, muncul dengan pertimbangan penting menyasar reformasi pajak dan agenda politik ekonomi.
Sayangnya, belum didukung kesadaran-melek literasi soal perpajakan. Terutama soal, sistem kelayakan administrasi perpajakan-administrative Feasibility, berkaitan segala urusan pajak dari mekanisme pemungutan dan pelaporan, hingga kerja sama antarpemangku kepentingan.