Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasak Kusuk Kurikulum Merdeka, dan Sisi Lain Nasib Para Guru

16 Februari 2022   01:26 Diperbarui: 17 Februari 2022   00:38 1145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru juga dibangun insiatifnya untuk memiliki portofolio atas kinerja dan kreatifitasnya, dalam format "Bukti Karya Saya". Ini menjadi babak baru, sekaligus dapat menyaring, mana para guru yang kreatif dan memiliki inisiatif  dalam mengajar, dan mana yang masih terjebak dalam pola-pola lama pembelajar konvensional. Tantangan, ini mau tidak mau membutuhkan transisi dari kebiasaan para guru yang hanya tergantung pada materi yang tidak berkembang mengikuti perubahan.

Siswa dan guru, dalam Kurikulum Merdeka, memungkinkan untuk membangun kreaitiftas yang sama, dalam format Merdeka Mengajar dan Merdeka Belajar.

Sederhananya, pengalaman siswa dalam kisah Film Laskar Pelangi, mungkin menarik menjadi contoh  cara merdeka belajar. Anak-anak menjadi lebih kritis dari gurunya, guru juga semakin berinisiatif untuk mengajar. 

Film itu seperti menjelaskan bentuk "kebebasan" belajar. Tapi apa kebebasan belajar memang begitu wujudnya?. Jadi apa maunya dengan Kurikulum Merdeka kalau begitu?.

Mengapa Merdeka Belajar?

Ini harus dijelaskan untuk meluruskan pikiran kita terlebih dulu. Apakah merdeka belajar dan merdeka berpikir memang seperti itu bentuknya?. Apa sebenarnya makna gagasan terbesar kurikulum merdeka, juga karena dua hal itu?. Let chekidot

Ketika Pak Menteri Nadiem Makarim mencetuskan gagasan merdeka belajar, hal paling sederhana yang ingin dicapainya adalah merdeka berpikir. Mengapa berpikir harus merdeka, bukankah tak ada siapapun yang menghalangi seseorang berpikir?. Apa hubungan antara merdeka belajar dan merdeka berpikir?.

Bayangkan jika untuk belajar sesuatu saja kita harus "dipaksa", maksudnya apa yang kita pelajari bisa jadi bukan yang kita butuhkan dan bukan yang kita mau. Setiap orang punya impian, punya keinginan dan gagasan tentang sesuatu yang menjadi impiannya. Nah, tantangannya adalah, bagaimana wujud kurikulumnya yang bisa "memuaskan" semua orang.

Menurut Nadiem Makarim, inti dari merdeka berpikir, harus didahului oleh guru sebelum mereka mengajarkannya kepada para anak didiknya.

Maka, sehebat apapun dan sekompeten apapun seorang guru yang hebat tanpa  bisa diterjemahkan maksudnya oleh para anak didiknya melalui kemampuan kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak pernah terjadi proses pembelajaran, karena bagaimana semuanya bisa tersampaikan, jika kita gagal berkomunikasi dalam belajarnya.

Belum lagi ada banyak tekanan yang menganggu proses belajarnya di sekolah. Komunikasi yang jelek antara anak didik dan guru, antara sesama kita, kekerasan disekolah, teknologi yang kurang, kondisi ekonomi dan sosial, kemiskinan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun