Semua orang sempat bingung dengan gonta-ganti kurikulum. Termasuk anak saya yang ikut bertanya. Apakah ini sedang uji coba, atau sedang kebingungan?. Â Tetiba anak saya protes tidak jelas ujung pangkalnya, waktu saya sedang sibuk di meja kerja. Waduh ini pertanyaan berat nak, panjang ceritanya.
Pastinya, bukan cuma anak saya yang bingung dan kaget, dengan gonta-ganti kurikulum yang terasa "sering" selama pandemi, sekalipun yang ganti cuma namannya saja. Pandemi memang membawa banyak perubahan dan transisi.Â
Di awal pandemi, dalam situasi "panik", kita justru menggunakan kurikulum darurat. Mungkin ini yang dimaksud anak saya, sedang ngetes apa bingung, sampai ada yang namanya kurikulum darurat.
Harus dimaklumi Pak Nadiem jelas pusing dengan situasi yang serba tidak terduga akibat pandemi. Namun apapun kebijakan soal Kurikulum merdeka, kita berharap yang sederhana, sesuai namanya, kurikulum ini bisa membuat anak kita makin merdeka belajarnya.Â
Tapi jangan salah, penamaan kurikulum Merdeka sebenarnya nama alias dari kurikulum Prototipe. Jadi masih kurikulum yang sama, komposisi dan ramuannya juga tidak jauh berbeda, dengan modifikasi di sana-sini.
Hal paling menarik dari kehadiran Kurikulum Merdeka karena didukung Platform Merdeka Mengajar. Ada lebih dari 2.000 referensi yang disediakan untuk guru untuk memudahkannya mengajar. Hampir otomatis, para guru "terpaksa" harus belajar bagi yang agak malas. Jika tidak mau ketinggalan informasi dari para siswanya. Dulu seorang guru, mungkin jadi "penguasa" kelas, hanya saja sekarang siswa bisa lebih cepat menangkap informasi dan mendahului para gurunya, karena informasi yang user friendly- mudah akses..Â
Nantinya, Platform itu bisa jadi teman penggerak membantu guru melakukan analisis diagnostik literasi dan numerasi dengan cepat, sehingga, saat menerapkan pembelajaran bisa disesuaikan dengan tahap capaian dan perkembangan siswa. Sasarannya, tidak lain, karena kekuatiran terbesar soal learning loss.Â
Dulu, Jepang paska bom Hiroshima dan Nagasaki, melakukan perbaikan-recovery-dari kesenjangan pendidikan, learning loss, selama 25 tahun.Â
Hasilnya seperti kita saksikan sekarang. Selain memperbaiki kurikulum, Jepang mendorong para guru menjadi pionir pembelajar. Berbagai dukungan moril dan materil menjadi mesin utamanya. Guru harus menjadi lebih cerdas  dari para muridnya, itu inti revolusi belajar Jepang ketika itu.
Nah, Kurikulum Merdeka, juga memiliki komponen yang sama untuk mendorong para guru lebih mudah mengakses materi mengajarnya. Ya, semacam kemerdekaan mengajar, juga menjadi lebih cepat pintar.
Satuan pendidikan dan pendidik yang kesulitan mengakses internet, dimudahkan dalam Kurikulum Merdeka dengan panduan implementasi  dan modul-modul pelatihan yang disediakan dalam perangkat flashdisk yang familiar pemakaiannya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!