Dalam debat yang masih sengit, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyampaikan kritik keras, dan meminta Permenaker No 2 tahun 2022 perlu dicabut. Apalagi, aturan itu merupakan aturan turunan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
KSPI menyebut Permenaker tersebut mengatur pembayaran Jaminan Hari Tua bagi buruh yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) baru bisa diambil apabila buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada usia 56 tahun. Dengan begitu, bila buruh yang terkena PHK berusia 20 tahun, maka harus menunggu 36 tahun untuk mencairkan JHT.
Sebenarnya kita harus mengkritisi ini dengan lebih serius, karena kebijakan baru Menaker, memilik beberapa persepsi;
Pertama; kebijakan berpangkal dari sikap pemerintah yang melawan putusan Mahkamah Konstitusi. Di mana UU Cipta Kerja sudah dinyatakan inkontitusional bersyarat oleh MK. Sebab dalam aturan sebelumnya, Presiden Jokowi memerintahkan Menaker untuk membuat aturan agar JHT buruh yang ter-PHK dapat diambil oleh buruh yang bersangkutan ke BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) setelah satu bulan di PHK.
Saya sendiri merasakan ketika bekerja di lembaga dengan plat setengah putih, karena aturan mengakomodir aturan ketenagakerjaan, namun karena wujudnya bukan sepenuhnya berstatus buruh, ada kebijakan lain yang spesifik sifatnya. Beberapa aturan mengacu pada buku putih ketenagakerjaan milik pemerintah.
Ketika masa kerja berakhir karena program donor tidak berlanjut, JHT dapat saya ambil tidak melalui proses berbelit dan waktu yang lama. Karena secara prinsip, ketika kontrak kerjasama berakhir, segala konsekuensi lembaga dimana kita bekerja juga tidak lagi punya hubungan secara formal, sehingga praktis hanya ikatan kita dengan Jamsostek yang tertinggal.Â
Dan dana yang tersimpan di dalam "rekening" itu sepenuhnya adalah hak si pekerja.
Jika melihat reakitas kasusnya justru, ketika Pemerintah meletakkan kebijakan yang memberatkan para nasib buruh atau pekerja, kita patut curiga. Bagaimanapun kebijakan ini menimbulkan tidak hanya beda persepsi, namun juga kecurigaan yang sangat beralasan, utamanya soal "fraud".
Apakah Pemerintah merasa tidak "ihklas" jika dana yang tersimpan dalam rekening deposito Jamsostek, bisa diambil kapan saja oleh pemiliknya yang sah, selama ia memang berhak dan sudah waktunya bisa mengambil. Mengapa untuk mendapatkan haknya saja para pekerja atau buruh yang ter-PHK harus menunggu puluhan tahun untuk mencairkan JHT-nya. Padahal buruh tersebut sudah tidak lagi memiliki pendapatan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!