Untuk menunjukkan mereka bukan mewakili kelas elite, Â keduanya masuk gerbong dan duduk berdua dengan santai dan mengobrol soal politik. Kita tidak tahu persisnya, apakah pembicaraan itu soal koalisi bersama atau konsolidasi politik biasa, setelah pemilu usai. Itu salah satu babak akhir dari serunya politik menuju kursi paling bergengsi di dunia politik.
Ketika duduk di minggu pagi setelah bersepeda di pinggiran kampung, seorang teman mengganggu imajinasi menulis saya dengan istilah yang agak aneh, "Politik jamban".
Ibarat jamban, pemilu itu jamban umum, setiap orang bisa mengakses asal sesuai ketentuan yang berlaku. Jika saatnya sedang trafiic, seperti saat pemilu, setiap orang ingin masuk untuk menyalurkan hasrat. Karena pintunya hanya satu, maka setiap orng harus berebut jika tak mau antri. (antri di negara kita masih menjadi budaya "anak tiri").
Bisa saja setiap orang akan menunjukkan kuasanya, agar bisa masuk duluan atau memanfaatkan hak privilege untuk dapat prioritas. Orang yang punya afiliasi politik, punya lingkaran politik, apalagi dinasty politik akan berpeluang berada di depan pintu masuk.
Intinya di depan jamban besar, setiap orang akan bertikai, berebut untuk masuk, dan berusaha saling menunjukkan mengapa mereka berhak berada di barisan depan.
Aneh bin ajaib, jika mereka telah masuk ke dalam jamban besar itu, mereka akan diam dan segala bentuk pertikaian, amarah yang tadi dipertontonkan di depan jamban umum itu, bisa seketika lenyap, setelah hasratnya terpenuhi.
Gara-gara fenomena itu seorang rekan pemilik sebuah warung kopi di pinggiran desa itulah uyang  menyebutnya, sebagai "politik jamban".
Mengapa, orang yang "kebelet" biasanya tak lagi mikir pakai otak doang, katanya tapi pakai "otak kedaruratan', asal hasratnya untuk membuang hajat itu kesampaian ia tak peduli orang lain. Tapi coba lihat begitu mereka selesai "buang hajat", maka selesailah "konflik" urusan buang hajat itu.
Pendukung yang kebingungan
Ketika dua kandidat yang berebut peluang untuk meraih kursi kekuasaan, saling adu argumen, adu visi, hingga pendukungnya berkonfrontasi sampai "berdarah-darah".Â