Saya meyakini bahwa pemerintah sebenarnya sedang pusing gegara ikut berpartisipasi dalam Perjanjian Paris (Paris Agrement 2015), karena sejak saat itu, apa-apa yang konsumtif BBM akan dijadikan kambing hitam kegagalan kita mengikuti kesepakatan pengurangan emisi, bahkan sampai akhirnya nol di tahun 2050.
Apakah dibolehkan?. Jelas, jika merujuk, pada kesepakatan artinya sudah melanggar perjanjian. Tapi apa boleh buat, pemerintah sudah menimbang-nimbang banyak perkara yang harus disiapkan. Jadi cukup bermuka badak, sambil mencoba jalan alternatif percepatan menuju 2050 itu. Siapa tahu mineral tanah jarang bisa membantu, sebagai jalan instan?.
Termasuk yang paling sering dan tidak populer adalah mengurangi subsidi bahan bakar. Bensin hilang dipasaran, muncul kebijakan pertalite, sebentar lagi pertalite ke pertamax. Daripada memilih model kebijakan yang  rentan menjadi bahan gunjingan dan demo publik, pemerintah sudah memilih kebijakan menaikkan gas bersubsidi terlebih dulu.Â
Bisa jadi pertimbangan yang paling masuk akal adalah, karena para konsumen gas bersubsidi adalah mereka yang minimal kelasnya menengah-ke atas. Artinya ada sedikit dana cadangan, tabungan yang bisa menutupi kenaikan itu.Â
Sehingga tidak seribut jika pemerintah menaikkan harga BBM atau mengurangi subsidinya karena "menyenggol" hasrat hidup orang kebanyakan, termasuk yang berada di bawah garis kemiskinan.
Garis besarnya adalah bahwa pemerintah diam-diam sedang menjalankan rencana zero emisi itu secara perlahan dan tidak kentara. Pertimbangan lainnya, karena kebijakan model seperti ini sangat tidak populer, baik secara ekonomi, apalagi sosial dan lebih parah lagi secara politik.
Memangnya ada pemerintah yang sedang mewacanakan presiden bisa naik berkali-kali, justru mengeluarkan kebijakan yang bisa membuat rencana kenaikannya menjadi gatot-gagal total, jelas saja tidak.
Maka kebijakan model naik BBM, adalah salah satu mimpi buruk. Karena jika tidak dilakukan sama saja bisa menggeroti kas negara membayar harga BBM ditingkat dunia yang  terus naik, termasuk gas, sementara sisa kas lain untuk menutupi subsidi agar harga gas lainnya, tetap terjangkau di pasaran.Â
Pemerintah harus minum paracetamol untuk menghilangkan nyeri ringan di kepala. Dan baru diinfus intensif jika kenaikan harga sudah menyebabkan demo dan harus diikuti dengan kebijakan penyerta sebagai peredam amarah, yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT), jika mau kekuasaannya dilanjutkan setelah 2024 mendatang.
Kebijakan KRL Salah Langkah?
Lantas bagaimana dengan Kereta Rel Listrik (KRL) kenapa justru harganya naik?. Apakah ini aji mumpung pemerintah?. Ketika ada barang lain naik, dan pemerintah tidak bisa bertindak gegabah menambah atau mengurangi subsidi, karena pertimbangan pilihan kebijakan populer dan tidak populer tadi, maka harus ada yang dikorbankan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!