CNNindonesia
Dulu aku juga berpikir, film adalah sebuah pentas semu kehidupan, sehingga ketika anak-anak tak bisa membedakan mana realitas dan mana fantasi, kita sebagai orang dewasa yang memahami dengan haqul yaqin konsep tersebut menganggap anak-anak sebagai pribadi polos seperti tabula rasa-kertas kosong.
Terlepas dari urusan Phobia, beberapa orang dewasa bisa menganggap visual film layaknya dunia nyata, karena sebab "penyakit" phobia, selebihnya, film adalah visual belaka.
Tapi fenomena karya sinema "layangan putus" dengan begitu besar antusiasme respon publik, membuat kita memikirkan ulang tentang cara memandang realitas dan fantasi itu. Mungkin argumen ini berlebihan, tapi media sosial yang mewakili jumlah publik yang terhubung langsung ke tontonan itu, membuktikan sebuah "kebenaran" yang lain.
Memang harus diakui "kekuatan lainnya" adalah bahwa film ini dilatarbelakangi kisah hidup Eka Nur Prasetyawati, atau yang lebih dikenal sebagai Mommy ASF, sang penulis sekaligus "pemeran" dalam dunia nyata yang ditulis dan diadaptasi dalam film.Â
Tentang "kekuatiran" yang berlebihan atas penggambaran visual dengan ide yang sangat "kekinian sekali", perselingkuhan, pelakor (terminologi yang satu ini masih bisa diperdebatkan, karena sangat bernilai bias gender. Bagaimana jika laki yang menjadi perebut istri orang-peristor, barangkali?).Â
Ternyata pemahaman tentang film sebagai karya visual unsich, bisa diterjemahkan begitu sangat realistis, menjadi potongan kehidupan nyata yang direkam kamera dan dipertontonkan ulang.
Terlepas dari pemainnya yang mumpuni dan sangat ekspresif serta menjiwai peran, tetap saja pilihan tema-isu yang jadi juaranya. "Perselingkuhan", menjadi sebuah phobia bagi keharmonisan sebuah rumah tangga dalam kekinian dunia yang serba datar.Â
Dulu dunia datar, Thomas L Friedman-The World is Flat, hanya khayalan, kini perselingkuhanpun bisa dilakukan diruang private, di dalam genggaman, ketika kita sedang bersama pasangan tanpa 'siapapun" diantara mereka.
Dalam ilmu marketing, Â film "layangan putus" adalah sebuah branding, ketika ia dilahirkan dan di "paksakan" menjadi sebuah "persepsi", maka branding itu dengan cepat tertangkap logika menjadi sebuah "realitas" yang harus dipercaya layaknya realitas itu sendiri, bukan pura-pura.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!