Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Peringkat 9 Kualitas Udara Terburuk Dunia, Jakarta Butuh Connector Parks?

3 Januari 2022   21:47 Diperbarui: 5 Januari 2022   19:11 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi atau tidak jadi pindah, Jakarta tetap butuh banyak connector parks, ruang teduh dalam kota yang tidak terputus. Connector parks adalah bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH). Apa pentingnya connector parks bagi sebuah kota? Keberadaan connector parks selain menjadi peredam polusi juga menjadi semacam upaya pengendalian perkembangan kota agar tidak terjadi peluberan kota (urban sprawl).

Kebijakan menerapkan ERP (electronic road pricing) saat ini, justru meningkatkan penggunaan transportasi umum, karena terdapat 88 juta perjalanan di kota penyangga dan Jakarta setiap hari.

Sementara seluruh transportasi publik yang saat ini beroperasi hanya mampu mengangkut maksimal tujuh juta penumpang per hari. Keberadaan connector parks bisa menjadi "peredam" penggunaan transportasi dalam jarak dekat.

Connector parks juga menjadi semacam "pagar betis", agar kota tidak mudah dicaplok semua untuk bangunan. Sekaligus menjadi kamuflase kota, untuk menutupi garangnya gedung pencakar langit dengan hijauan yang lestari. 

kompas.com
kompas.com
Kamuflase alias Camo bagi Jakarta yang dimaksud, lebih pada urusan estetis, keindahan kota, terutama dari sudut pandang arsitektural atau lansekap kota.

Sedangkan, tujuan utamanya adalah upaya minimal dalam mitigasi perubahan iklim, terutama polusi yang semakin menguat. Bahkan Jakarta kini masuk dalam peringkat ke 9 (2021), kota dengan kualitas udara terburuk dunia. 

Memaksakan Jakarta tetap punya RTH minimal 30 persen saja, susahnya luar biasa, namun harus menjadi prioritas, sebagai alternatif "Jalan Tengah".

Pertumbuhan bangunan terus berkejaran dengan ketersediaan ruang bagi vegetasi kota. Vegetasi jadi sering diabaikan, bahkan dihilangkan dan harus mengalah, dalam pembangunan yang kita sebut Program Pembangunan Berkelanjutan (PBK). 

Dari luas DKI Jakarta 7.659,02 km2, RTHnya baru 9,98 persen saja. Jika per tahun ada tambahan 2 persen saja per tahun, akan ada 29,98 persen pada 2030. (megapolitan.kompas.com).

Padahal dalam bulan-bulan berakhiran Ber, intensitas hujan di Jakarta semakin mengila. Percaya atau tidak hujan sebanyak 1 milimeter saja yang jatuh di Jakarta, volumenya setara air dalam 132.000 mobil tangki air. 

Itu artinya jika hujan tak berhenti selama satu jam saja, maka bisa dibayangkan berapa jumlah air di Ibukota yang akan bertambah secara mendadak. (climate4life.info). Banjir Kanal Barat (BKB) yang sudah dirancang sejak tahun 1922 atas ide Prof. Dr. Herman Van Breen hanya kuat bertahan empat dekade, dengan begitu cepatnya pembangunan Jakarta dan selanjutnya menjadi kota langganan banjir. 

Bagaimana dengan kekuatan Banjir Kanal Timur (BKT), yang juga dirancang konsultan dari Belanda, Nedeco antara tahun 1972-1973?. Sanggupkah mereka menampung beban itu?.

Dalam International Architecture Biennale Rotterdam (IABR) 2009, seorang arsitek asal Indonesia Adi Purnomo, dan koleganya dari Universitas Pelita Harapan, dengan proposalnya Let's Catch The Water! Jakarta Sponge City menulis sebuah anjuran agar semua lapisan masyarakat untuk aktif terlibat menyediakan air bersih untuk Jakarta. 

Kota yang setiap tahunnya kekurangan pasokan air bersih hingga 1.028.000.000 m3, sementara total curah hujan dalam kurun waktu yang sama mencapai 2.973.000.000 m3. Bayangkan!. (Avianti Armand; 88)

Sebuah Jalan Tengah?

Connector Parks adalah bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau arboretum, sebagai salah satu langkah represif, respon dalam sistem perencanaan dan perancangan kawasan perkotaan, desain perkotaan yang mempertimbangkan sistem iklim. 

Misalnya dengan preservasi dan akuisisi ruang hijau, berupa benchmark untuk menggambarkan penggunaan lahan untuk RTH, menghindari soil capping, ketika membangun mempertimbangkan ruang hijau dan ruang air. 

Roof greening, memanfaatkan atap roof top sebagai ruang hijau, dan taman atau facade greening di setiap bangunan baik perkantoran, bangunan komersial maupun rumah tinggal sebagai bagian dari penentu iklim mikro perkotaan.

RTH bagi sebuah kota adalah paru-paru kota. Semakin banyak RTH, akan mendukung sebuah kota yang sehat atau Green City. Kita harus memikirkan tentang bagaimana dampak perubahan iklim yang sedang berlangsung terhadap masa depan tata ruang kota kita.

Sehingga penting bagi kita memahami bagaimana mengeksplorasi pengetahuan tentang pembangunan kota-kota baru dapat memenuhi kriteria untuk mitigasi dan tujuan-tujuan adaptasi.

Penting dipahami, misalnya bagaimana penggunaan teknologi bahan kedap air untuk meningkatkan daya tahan bangunan, bagaimana penggunaan bahan yang dapat mendukung serapan air tanah. Maupun sistem drainase yang baik yang dapat mengatasi masalah banjir di perkotaan. 

Termasuk konsep bangunan perkantoran atau bangunan komersial yang efisien yang dapat merespon positif pemanasan yang meningkat di perkotaan.

Bagaimanapaun tidak ada yang dapat menahan laju pertumbuhan pembangunan Jakarta. Laut saja sudah direklamasi demi perluasan kota. Jadi alih-alih melarang, kita justru harus memikirkan jalan tengah yang win-win solution. 

Connector Parks adalah pilihan paling logis dan masuk akal buat Jakarta saat ini, yang terus bertumbuh tapi tak mau kelihatan tak pernah bersolek. Maka selain merencanakan wacana pindah, bersolek adalah cara solutif kedua.

Apa Pentingya Connector Parks?

Connector parks, umum dipahami sebagai bagian dari Hutan Kota atau RTH. Berfungsi sebagai penahan atau penyaring partikel padat dari udara, penyerap partikel timbal dari kendaran bermotor, penyerap debu semen, peredam kebisingan, pengurang bahaya hujan asam, penyerap karbon-monoksida dari kendaraan dan pabrikasi, penyerap karbon-dioksida, penahan angin, penyerap bau, mengatasi penggenangan air, penjaga iklim dan penapis cahaya silau.

Beberapa model pembangunan kota yang bisa dijadikan rujukan Pemerintah Kota Jakarta yang bakal kembali marak setelah pandemi berakhir harus mempertimbangkan kualitas atau indikator kinerja hutan kota tersebut. Apalagi jika diniatkan pembangunan RTH itu untuk mitigasi terhadap perubahan iklim dalam jangka panjang.

Singapura saja, sebuah negara kecil dengan pertumbuhan ekonomi dunia, menyadari benar pentingnya upaya RTH sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim, sehingga kita bisa lihat bagaimana pemerintah Singapura menggunakan segala daya upaya memanfaatkan ruang RTH-nya yang sangat terbatas tersebut.

urbansplatter.com
urbansplatter.com
Singapura menciptakan ruang teduh dalam kota yang tidak terputus (connector parks), sebagai kunci taman kota Singapura yang landmark-nya sudah sangat mendunia, melalui Singapura National Parks (Nparks), dan Urban Redevelopment Authority (URA). 

Dalam membangun RTH-The Parks and waterbodies Plan, Singapura bahkan hanya mengandalkan dua jenis tanaman, yakni pohon dan rumput yang ditanam secara menyatu.

Demi sebuah kota yang ramah lingkungan, Pemerintah Singapura bahkan telah siap dengan kalkulasinya yang rumit. Sebagai perbandingan, satu hektar RTH mampu menetralisasi 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355 penduduk; menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk per hari; menyimpan 900 m3 air tanah per tahun; mentransfer air 4.000 liter per hari atau setara dengan pengurangan suhu lima sampai delapan derajat Celcius, setara dengan kemampuan lima unit alat pendingin udara berkapasitas 2.500 Kcal/20 jam; meredam kebisingan 25-80 persen; dan mengurangi kekuatan angin sebanyak 75-80 persen. (Joga-2004).

Bagaimana dengan Pemerintah Jakarta kita, apa mau serius mencobanya?

Mencontoh Singapura memadukan keberhasilan simbiosis mutualisme nilai ekologi dan ekonomi RTH, di samping nilai edukatif dan estetis RTH, sebagai salah satu keunggulan Singapura, menjadikan kota sebagai pusat perdagangan jasa dan tujuan wisata mancanegara. [hans-2021].

Referensi: 1, 2,3, 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun