Kita juga menemukan realitas materi dan bahan ajar yang sangat terbatas menyebabkan anak-anak dengan kesulitan bidang eksakta mengalami masalah.
Kedua, kita sudah belajar dari pengalaman kurikulum 2013 ketika sebelum pandemi.Â
Kurikulum 2013 sangat menarik, karena memadukan antara teori dan praksis. Anak-anak tidak hanya fokus belajar, namun juga memikirkan apa relevansi ilmu yang dipelajari di kelas dengan kehidupan sebenarnya. Serta bagaimana mengaplikasikannya dengan pengalamannya kelak dalam kehidupan sosial dalam masyarakat.
Sayangnya, ketika belum optimal dilaksanakan,  akhirnya kita berada dalam situasi pandemi yang memunculkan kekhawatiran  fenomena loss learning.
Banyak pembelajaran dari pandemi yang kemudian menjadi inisiasi kita untuk menciptakan kurikulum yang bisa menjembatani masalah-masalah yang kita temukan. Salah satunya adalah, apakah sebenarnya pilihan anak-anak di kelas IPA atau IPS ada korelasinya dengan semakin meningkatnya kemampuan anak-anak ketika melanjutkan ke jenjang lebih tinggi?
Apakah kualitas Perguruan Tinggi (PT) juga dipengaruhi oleh pilihan-pilihan yang salah ketika di sekolah?. Artinya ketika ada anak-anak yang berkelas IPS mengambil jurusan di PT ternyata hanya mendapat jatah fakultas berbasis IPS saja. Sedangkan anak berjurusan IPA lebih beruntung karena bisa memilih jurusan IPS. Bisa jadi berpengaruh pada minat sebenarnya daripada formalitas ijazahnya.
Kondisi  penjurusan di PT dan peluang lulusan Sekolah menengah didasarkan pada jenis kelas yang diambil juga menyebabkan timbulnyamasalah;
Pertama, sekolah dengan prioritas kelas IPA menjadi tumbuh subur.
Kedua, kondisi ini memposisikan kelas IPS sebagai "kelas dua".Â