Apa sebenarnya daya tarik kurikulum prototipe 2022 dibandingkan dengan kurikulum 2013. Ketika kita menganalisis materi dalam kurikulum prototipe, ada tiga hal di sana; kurikulum 2013, kurikulum 2013 yang disederhanakan, dan kurikulum prototipe itu sendiri.
Kita dan Stereotip Sekolah
Dulu, sejak di kelas satu sekolah menengah atas, kita sudah mendapat penilaian dari para guru, akan duduk di kelas mana selanjutnya di kelas 2 dan 3 berdasarkan akumulasi perolehan nilai selama kelas sebelumnya.Â
Apakah di kelas IPS atau kelas IPA. Dahulu, perbedaan antara  S dan A itu sangat signifikan, banyak sekolah yang memperbanyak kelas IPA-nya daripada kelas IPS-nya, karena alasan sederhana soal gengsi sekolah.
Semakin banyak kelas IPA-nya itu artinya makin bonafid sekolahnya, sebabnya tidak lain karena stereotip yang sudah dibentuk dan terbentuk sejak lama adalah bahwa kelas IPA adalah kelas unggul dibandingkan kelas IPS.Â
Apakah hal itu sebenarnya positif, tergantung pada bagaimana mengeksekusinya. Banyak sekolah dahulu, sangat tergantung pada penilaian yang sebenarnya subjektif. Sebabnya karena tidak semua anak-anak yang bernilai tinggi di pelajaran eksakta atau kelas IPA adalah para saintis sejati.Â
Ada kalanya mereka justru memiliki ilmu pengetahuan sosial, kemampuan bahasa yang lebih baik daripada nilai eksaknya. Artinya nilai itu bisa jadi bersifat semu, ketika dikaitkan dengan passion, hobby, dan minatnya. Sehingga tidak bisa pukul rata, menjustifikasi ketika anak bernilai rerata tinggi, kemudian solusinya masuk kelas IPA.
Nah problem inilah yang sedang dijembatani oleh kurikulum prototipe 2022.
Pertama, berdasarkan pengalaman selama pandemi, Â ketika anak-anak belajar secara daring, banyak titik lemah yang muncul, sebab kurikulum darurat pandemi belum bisa mengakomodasi kebutuhan materi belajar dan pembelajaran di sekolah yang tepat.Â