Tiba-tiba bintang warna-warni menari, berlarian berebut berdiri di belakangku, aku berdiri, meneruskan takbirku, berdiri meneruskan bacaan alfatihahku, berdiri dengan doa-doa yang panjang karena berjuta bintang di belakang mengikuti shalatku. Aku khusyuk, dan bintang-bintang itu hanyut, luruh. Bahkan galaksi tiba-tiba menyusut, masuk ke dalam shalatku.
Aku tak hendak cepat berdiri dari sujud dan ruku. Setiap kali terbangun dari sujud panjang kudapati, galaksi berpendar di belakangku. Ketika tafakur kuakhiri, kudapati aku tak lagi sendiri. Galaksi itu sekarang disini. Semua begitu terang, semua benderang, jauh melebihi matahari-matahari.
Ketika aku berhenti membaca doa dalam tafakurku, aku menengadah dan berkata lirih seperti lantun doa.Â
Tuhan, ternyata Engkau tak pernah jauh, di sini di dekatku, bahkan ketika aku merasa sendiri di sebuah galaksi bima sakti yang jauh sekali.
Ketika terjaga aku mengenggam bintang-33 butir banyaknya, ternyata aku pulas setelah lelah dan lelap dalam tafakur di puncak sepertiga malam, setelah berkeluh kesah kepadaNya. Tak cuma tentang duka-duka, tapi juga tentang suka-sukaku yang banyak jumlahnya.
Seandainya aku benar tinggal di bima sakti itu. Aku pasti bisa kembali, dengan perantaraan 33 butir bintang, yang teruntai seperti merjan. Terima kasih Tuhan, atas ingatanMu padaku, tidak dalam duka-duka, tapi juga dalam suka-suka yang banyaknya tak terkira.
Beranda rumah, Dar-es-salam, 10 desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H