Ketika kedua rekannya pada akhirnya tewas, dan dalam pelarian Stacy terdesak didalam sebuah piano, stacy harus memilih menyerang atau diserang. Dalam ketakutan, ia mendapat keberuntungan, piano yang dijadikan tempat persembunyiannya ternyata justru "membantunya" lolos dari serangan anjing monster, bahkan si anjing justru terjepit di bawah piano, sehingga tak berdaya.
Namun erangan dan ingatan Stacy tentang kisah rekannya yang sudah tewas tentang kisah masa lalunya dengan seekor anak anjing, membuatnya tak cuma iba, tapi ia mengalah dan memaksa egonya untuk tidak membunuh anjing yang memburunya, namun justru menolongnya. Dan dalam sekejap, si anjing monster tak bereaksi menyerang, namun justru meninggalkan stacy begitu saja.
Bahkan ketika pada akhirnya pelarian stacy berakhir, dalam kondisi terjepit dari serangan tuan si anjing (Blue),  si anjing monster berubah menjadi penolongnya, balas budi pertolongan kecilnya mengangkatnya dari jepitan piano. Dan ketika harus memilih untuk menembak si anjing yang sudah tak berdaya, ketika diperintahkan Blue, stacy justru memilih untuk menjatuhkan diri, daripada membunuh si anjing monster. Simbiosis mutualis, balas budi anjing dan manusia yang sangat menyentuh.
Sisi itu yang selalu menggugah, atau digunakan si sutradara untuk menyentuh hati kita , hati penonton. Padahal, sesungguhnya menjual kengerian dalam adu tembak saja tidak sepenuhnya menarik. Sehingga Bullet Head menyisipkan kesan mendalam, terutama tentang nilai-nilai "baik", tentang nurani dan kebaikan. Bahwa kebaikan sebesar zarrah (atom) sekalipun, akan ada balasannya yang setimpal. Ambil sisi baik, jika itu bisa menguatkan kebaikan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H