cnnindonesia
Kehebohan terbaru di Indonesia saat ini, adalah berita masuknya ribuan ASN sebagai penerima bansos, termasuk bansos Keluarga Harapan. Lebih tepatnya 31.624 ASN jumlahnya. Dalam daftar itu termasuk aparatur sipil negara, dosen, hingga tenaga medis, dan aparatur lain yang berstatus kurang lebih sama. Mengapa kasus tersebut selalu berulang? Apakah gara-gara covid sebagai kambing hitamnya?. Ataukah ini kejadian rutinitas tahunan yang selalu berkelanjutan.
Meski tidak ada aturan spesifik larangan menerima bansos karena dianggap kelompok berpenghasilan tetap, tapi dari segi kepatutan, dibanding para kelompok miskin, jelas para ASN penerima bansos jadi masalah. Verifikasi dan sidik akan dilakukan BKN, untuk membereskan maslah tersebut, dengan menelusuri dari NIP dan data ASN pendukung lainnya.
Siapa Jatuh Ke Lubang Keledai Berkali-kali?
Kenapa bisa salah sasaran bansos. Apakah data bansos memang rawan salah sasaran?. Atau sebuah kesengajaan karena ada titik lemah?. Darimana asal muasal kesalahan itu dimulai , apakah sejak pengurus pemerintahan di tingkat bawah seperti RT-RW dan seterusnya. Apakah kemudian itu bisa dijadikan kambing hitam, lempar data sembunyi fakta?.
Setidaknya dari awal Presiden Jokowi sudah mengultimatum soal perbaikan 49 juta data yang harus segera diverifikasi oleh Kementrian Sosial.
Logisnya memang setiap tahun ada yang datang dan pergi, ada yang diterima sebagai ASN baru dan ada yang pensiun. Namun apakah tidak pernah dilakukan antisipasi sehingga "preseden" itu terus berulang. Setingkat KPK saja mengeluhkan data yang tidak pernah akurat tersebut.
Meskipun langkah verifikasi dan perbaikan patut diapresiasi, tidak lantas bisa dijadikan alasan ketidatepatan sasaran. Dasarnya karena dinamika data yang tidak dapat diantisipasi pemerintah secara tepat, karena alasan pemerintah tidak dapat melakukan perbaikan data setiap saat, namun hanya dalam jangka waktu tertentu.
Ada pihak yang menduga hal itu sebenarnya suatu kesengajaan, jika melihat jumla nya yang sangat besar. Selain karena lemahnya pengawasan, bisa jadi kesalahan itu dimulai ditingkat daerah karena data awal berasal dari sana, sehingga perbaikan bisa dimulai dari sana.
Uniknya, perubahan data itu selalu menjadi alasan jika terjadi kesalahan penerimaan bansos. Harus ada political will serius dari pemerintah, untuk menuntaskan mengapa masalah data yang  mengulang tidak pernah kelar-dan jadi kambing hitam. Salah satu titik lemah kemungkinan timbulnya kasus tersebut adalah karena terdapat celah yang memungkinkan bisa dilakukan "fraud"-alias kejahatan atau kecurangan.
Bahkan jika kita mau menelusuri, sebelum timbulnya kasus serupa, kasus ini sebenarnya menunjukkan fenomena gunung es-ada lebih banyak kasus serupa yang telah lama terjadi dan sudah berkelanjutan alias sustainable fraud-barangkali sebutan tepatnya kurang lebih begitu. (ini tidak meminjam istilah dari siapapun, takut tidak tepat maksudnya).