republika
Sederhananya kita mau tulis, jika pemerintah masih ogah berkomitmen menjalankan amanah  UUD 45, tentang fakir miskin, dan anak terlantar maka blundernya akan terus berulang.
Setelah Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta mengeluarkan fatwa haram memberi sedekah bagi pengemis di jalanan pada tahun 2013, kini giliran MUI Sulawesi Selatan di tahun 2021 yang melayangkan fatwanya ke ruang publik.Â
Apa pembelajaran yang bisa kita peroleh dari fenomena  maraknya pengemis dijalanan dan keputusan MUI mengeluarkan fatwa haram?. Para pengemis marak dijalanan, karena masih ada yang memberi. Namun di sebalik itu sebenarnya masalahnya juga tidak sederhana.Â
Bisa jadi sebenarnya masih ada paradoks antara problem pengemis yang keluyuran di jalanan dengan program penanganan masalah sosialnya yang belum optimal oleh pemerintah dan stakeholdernya. Bisa jadi juga akan muncul polemik atau debatable yang justru kemudian bergeser, yang lebih menyoroti masalah, mengapa memberi sedekah diharamkan.
Meskipun harus digarisbawahi bahwa, memberi di cap haram seperti dalam fatwa MUI Sulsel, ditujukan kepada pengemis yang sehat, kuat dan memanipulasi diri dengan berbagai cara agar dikasihani. Dicap makhruh memberi sedekah bagi pengemis yang meskipun secara kondisional memang butuh bantuan, tapi karena salah kaprah menggunakan jalanan sebagai media pencarian sedekahnya. Sedangkan untuk urusan pengekploitasi para pengemis, jelas harus berurusan dengan hukum.
Dalam jangka panjang Fatwa juga harus diikuti dengan komitmen pemerintah, memobilisasi perbaikan dalam mengatasi masalah sosial yang makin hari makin runyam dan ruwet. Secara sosiologi, mungkin kita harus menghitung secara cermat, berapa jumlah pengemis yang mengganggu di jalanan, bila diukur dari problem ekonomi makro daerah, jika komitmen dari kabupaten/kota/desa/kelurahan untuk penguatan dan fasilitasi kerja sesuai kapasitas mereka juga belum optimal.Â
Pekerjaan menangani masalah pengemis juga bukan urusan Dinas Sosial saja, karena masalah sosial yang penting juga harus ditangani bersama, bisa jadi Dinas pariwisata, dan dinas terkait lainnya. Pemerintah tidak bisa sesederhana hanya merazia, membimbing dan seterusnya mengembalikan ke jalanan, seperti sebuah lingkaran setan. Harus ada usaha lebih memanusiakan mereka dengan cara yang lebih strategis barangkali. Karena kemiskinan kalau hanya diedukasi, tidak bisa menjadi efek jera.
Namun bisa jadi juga fatwa itu sebenarnya masih solusi semu sebagai sandaran mencari jalan keluar, karena bukan langsung kepada akar masalah. Meskipun dasar penetapannya karena mempertimbangkan realitas masyarakat perkotaan, adanya perilaku mengekploitasi pengemis menjadi komoditas, agar tidak marak dijalanan dan menjaga ketertiban.Â
Pertimbangan lainnya, fatwa juga didasarkan pada ilad hukum, agar pekerjaan mengemis dijauhi dan tidak dijadikan profesi tanpa kerja. Menjadikan anak-anak sebagai pengemis sama saja mendidik mental mereka untuk meneruskan jejak orang tua atau kelompoknya. Namun tidak memupus fenomena itu dari jalanan.
Bagaimanapun kita mengapresiasi secara positif kehadiran fatwa MUI tersebut, dan apakah fatwa tersebut efektif atau tidak tidak bisa dihitung dari sekarang.  Bagi pemerintah sendiri, jelas ini momentum untuk melihat kembali, dalam mengatasi problem struktural kemiskinan, bahwa ukuran kemiskinan tidak bisa disamaratakan, apalagi dalam kondisi sekarang yang serba  tidak pasti.Â