Judul kali ini beda dengan "jeruk makan jeruk" yang sering kita dengar. Ada sebuah kearifan lokal verbal di Aceh yang disebut, hadih madja, atau petuah yang berbunyi; Buya Krueng Teudong-dong, Buya Tamong Meuraseuki (Buaya Sungai Terdiam, Buaya Masuk Dapat Rezeki), siapa tak berikhtiar akan kalah!.
Kemarin membaca opini Ketua Ikatan Saudagar Muslim Aceh Nurchalis, Sp, M,Si, "Menghitung Pulau Banyak Effect", (SI; 25/9/2021), jadi teringat opini  sendiri, "Buya Tamong Meuraseuki "(SI;4/6/2014), dan tulisan ini jadi sekuelnya.Â
Ketika Pemerintah Aceh mendorong Aceh Investment Promotian (AIP) I, sebuah gagasan menjadikan Aceh sebagai tujuan investasi terbaik di Indonesia. Gagasan yang sangat menantang adrenalin bisnis.
Visinya harus jelas, bukan apa-apa, karena belajar dari pengalaman, masih ada hantu masalah infrastruktur pendukung investasi yang belum sepenuhnya "matang".Â
Seperti di sampaikan seorang analis ekonomi A. Tony Prasetiantono, bahwa buruknya infrastruktur menjadi salah satu titik lemah dalam daya saing perekonomian kita. Selain produktivitas tenaga kerja, level pendidikan, birokrasi, dan korupsi yang akut menjadi catatan yang tidak bisa diremehkan dalam euforia kita menerima investasi baru.
Dari sisi geografis, Singkil, Pulau Banyak butuh setidaknya moda armada angkutan laut, pelabuhan peti kemas, infrastruktur jalan darat unutk kontainer tonase besar yang akan hilir mudik, dan jalan menjadi vital sebagai perantara antaran semua jenis angkutan material yang akan masuk untuk  membangun resor mewah seperti di Maldives atau Maladewa ataudi Dubai, sesuai rencana investor.
Optimisme Baru
Realitas itu sejatinya jadi peluang penting Pemerintah Aceh untuk membuktikan kepada para investor lain bahwa niat kita berinvestasi sangat serius.Â
Kita bahkan berharap, keberhasilan kerjasama dengan Murban Energy dan Uni Emirat Arab, bisa ikut memancing investor lain  mengurusi Pulo Aceh yang eksotik, Sabang, syurga yang tersembunyi, dan pulau-pulau lain yang bertebaran di Aceh dan dapat menjadi pembuka sabuk pembangunan Aceh di masa mendatang.
Selama ini berharap dari keberadaan dana Otsus, dana bagi hasil migas, sementara usaha sendiri masih ditopang dari pajak, dan untuk kebutuhan membangun Aceh saat ini, masih sangat minim dan belum bisa mendorong pembangunan Aceh yang makin kompleks.Â