Maka mendeteksi dua sisi ekosistem kopi, menawarkan dua dinamika berbeda. Dinamika budaya menikmati kopi disatu sisi dan tata kelola secara ekonomis disisi seberangnya. Dan persoalan inilah yang sesungguhnya paling kompleks bersangkut paut dengan carut marut tata kelola komoditas kopi kita.
Banyak fakta kontradiktif terkait tata kelola 'ekosistem kopi' kita di tingkat yang lebih atas. Menurut International Coffee Organization (ICO), konsumsi kopi meningkat dari tahun ketahun. Kebutuhan kopi global bisa meningkat sekitar 15 persen pertahun, tetapi produksi kopi kita meningkat rata-rata hanya satu persen per tahun, bahkan dalam jangka waktu lima tahun belakangan cenderung stagnan. (antaranews.com;13/2/2016).
Berbanding terbalik dengan posisi kita sebagai penyumbang kopi keempat terbesar dunia. Dan ternyata gegap gempita Aceh dengan julukan 'kota seribu kedai kopi' dan ibukota Jakarta dengan 3000 kedai kopinya, termasuk dalam komposisi konsumsi lokal kopi yang rendah hanya 0,86 %/kg/kapita/thn berdasarkan data SUSPENAS.
Indonesia juga memiliki kopi speciality dari berbagai wilayah, seperti Aceh dengan Kopi Gayonya, Sumatera Utara dengan Mandailing dan Lintongnya, Sulawesi dengan kopi Torajanya, Jawa dengan Java Arabicanya, Nusa Tenggara Timur dengan kopi Bajawanya, Papua dengan kopi Baliemnya, Jawa Barat dengan kopi Preangernya, semuanya memiliki memiliki keunggulan termasuk harganya yang premium. Namun keunggulan komoditi  agrikultur penghasil devisa terbesar keempat untuk Indonesia setelah minyak sawit, karet dan kakao ini belum mampu mendongkrak posisi Indonesia sebagai penghasil kopi dunia nomor empat di bawah Brazil, Vietnam dan Kolombia. Bahkan 'revolusi' tata kelola kopi di Vietnam membuat daya saing kopi Indonesia sebagai produsen kopi kedua terbesar didunia tahun 2014 tertinggal. (Kompasiana.com; 14/7/2017).
Maka ketika statistika menampilkan bagaimana Vietnam mengungguli Indonesia sebagai jawara penghasil kopi dengan 'segala keterbatasan', jika dibandingkan dengan luas negara kita, maka muncul berbagai pertanyaan dan praduga. Apakah artinya intensifikasi dan diversifikasi tidak membantu kita memberi keuntungan pada peningkatan produksi kopi?. Apakah tata kelola manejemennya yang salah, sehingga daya saing kita rendah?. Apakah daya tarik dan ekspektasi pengusaha kita terhadap industri komoditas kopi masih sangat rendah? Atau apakah pemerintah tak serius mengurusi tata kelola industri kopi kita? Dan berbagai pertanyaan lain.
Ketika Vietnam sudah bisa memproduksi kopi robusta hingga 3 ton per hektar, kita masih terkendala optimalisasi penggunaan lahan. Setidaknya dunia per-kopi-an Indonesia masih dijangkiti berbagai 'penyakit'. Masih rendahnya produktifitas tanaman, meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT); masih lemahnya kelembagaan petani; masih rendahnya penguasaan tehnologi paska panen; masih besarnya produk yang dihasilkan dan diekspor dalam bentuk biji kopi (coffee beans); masih rendahnya tingkat konsumsi kopi per kapita di dalam negeri (0,86%/kg/kapita/thn); belum optimalnya pengelolaan kopi speciality (speciality coffe); dan masih terbatasnya akses permodalan bagi petani; serta belum efisienya tata niaga-rantai pemasaran kopi. (kompasiana.com; 14/7/2017).
Dibutuhkan sebuah revolusi besar dan serius menuntaskan persoalan industri kopi Indonesia. Ada fakta menarik terkait data statistika Perkebunan Indonesia (Ditjend Perkebunan, 2015) yang bisa menjadi jawaban berbagai carut marut persoalan industri kopi di Indonesia. Menilik jumlah total produksi kopi Indonesia tahun 2014 sebesar 643.857 ton, yang berasal dari 1.230.495 ha areal perkebunan kopi, 96.19 persen diantaranya diusahakan oleh rakyat (PR) sementara sisanya diusahakan oleh perkebunan besar milik swasta (PBS) sebesar 1,99 persen dan perkebunan besar milik Negara (PBN) sebesar 1,82 persen.
Dengan berbagai persoalan yang terus mendera industri kopi dan besaran komposisi perkebunan rakyat, maka dapat diduga mengapa industri kopi Indonesia mengalami stagnasi dan dari tahun ke tahun mengalami penurunan dari banyak sisi. Berbanding terbalik dengan Vietnam, paska belajar pengembangan komoditas kopi dari Indonesia, pemerintahnya mendukung penuh sektor perkebunan kopi di tambah sistem pertanian yang sudah matang membuat produktifitas perkebunan kopi tinggi. Uniknya lagi, peralihan Vietnam dari pembelajar menjadi jawara, ternyata Vietnam juga mendominasi  pasar kopi impor Indonesia, setidaknya 62,83% atau volumenya setara 7.582 ton di tahun 2015 saja.  Sebuah metamofosa yang tidak sederhana namun sangat menarik, karena dukungan serius pemerintah yang tidak hanya berdiri di belakang layar namun menjadi 'pihak' yang proaktif mendukungnya. Kisah ini mengingatkan kita dengan langkah proaktif Gubernur Gorontalo, Muhammad yang mendorong Gorontalo sebagai sentra jagung dengan Pemerintah berada di garis depannya dan terbukti sangat berhasil.
Mencari Jalan Keluar
Diluar persoalan besar 'ekosistem kopi' nasional, kita masih terus berkutat dengan persoalan konsistensi dan kualitas kopi yang sangat fatal bagi masa depan daya saing produk di tingkat global. Ditambah maraknya sertifikasi bahan baku oleh lembaga atau eksportir asing yang makin runyam dan memberatkan para petani kopi, sehingga harga kopi Indonesia 'dipermainkan'. Belum lagi perebutan antara perusahaan lokal dan eksportir asing yang belum didukung kebijakan yang memihak, sehingga beberapa investor Penanaman Modal Asing (PMA) masih bisa melakukan kamuflase, hanya menjadi trader bukan investor, hanya dengan mengelola gudang, maka seluruh pendapatan akan hengkang keluar negeri. Permasalahan 'aspek produksi' pada minimnya inovasi, tehnologi pengolahan dan kemasan yang masih sangat sederhana, berbenturan dengan 'aspek pasar', masih ketatnya kendali mutu dan besarnya bea masuk ekspor produk kopi olahan dari pihak asing. Hal ini makin membuat para petani Indonesia sulit bersaing di tingkat global, sehingga kecenderungan meng-ekspor biji kopi (coffee beans) menjadi pilihan. Kerumitan ini ditambah dengan dukungan kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada petani kopi.
Berbagai peluang dan solusi masih memberi harapan positif bagi masa depan, ekosistem kopi' kita, bisa dimulai dari pengembangan speciality coffee seperti halnya kopi Gayo di  kelas premium, maupun upaya standar diversifikasi, menambah luasan areal tanam dengan mempertimbangkan kesesuaian agroklimat. Penerapan sistem budidaya perkebunan kopi yang baik (GAP) dan berkelanjutan (sustainable coffee production). Penyediaan tehnologi pengendalian hama yang ramah lingkungan, pengembangan tehnologi pengolahan kopi menjadi  instant coffee dan liquid coffee serta mendorong peningkatan konsumsi kopi per kapita.