![https://www.cnnindonesia.com/](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/01/28/3a4e5b36-a38f-422e-a719-8269f818daf0-169-601267d08ede481d425c0252.jpeg?t=o&v=770)
Mungkin narasi tak persis bisa mengatakan apa maksudnya, tapi gambar itu bisa bercerita layaknya seribu kata. Bisa jadi kita akan menerjemahkannya sebagai jalan terjal pendidikan, jalan kering pendidikan tanpa muatan moral yang sepadan. Atau justru moral tak lagi menjadi bagian penting dalam pendidikan kita yang mengejar prestasi, nilai tinggi dan menafikan nilai-nilai lain yang penting di atasnya. Atau menerjemahkannya sebagai kerasnya perjuangan anak didik dan para pendidik untuk bersekolah tanpa perhatian serius pemerintah. Atau justru semangat tak pernah padam dari mereka-mereka yang memimpikan sebuah masa depan yang lebih baik.
Seorang teman lulusan sebuah perguruan tinggi luar negeri dan lama bermukim disana, mempersoalkan model pendidikan,dan muatan materi pembelajarannya. Beberapa muatan dinilainya terlalu ekstrim, beberapa pelajaran lainnya dinilainya tak penting dalam membangun karakter bahkan dalam urusan bagaimana membentuk mentalitas anak didik, menurutnya dunia pendidikan kita kedodoran.Â
Bisa jadi ada yang salah menerjemahkan juknis terlalu rigid, kaku, atau karena bias kepentingan (utamanya soal nilai tiggi sebagai penanda kualitas), sehingga urusan nilai tinggi lebih penting daripada cara membuatnya dan efeknya kelak bagi anak-anak didik kita. Sedangkan birokrasi dan "ukuran keberhasilan dalam rumus nilai tinggi" menjadi raja di atas semuanya.
Kita sering salah jalan dalam membangun karakter dan mentalitas anak didik. Anak-anak didorong untuk cepat membaca, berhitung mahir, meskipun mentalitas urung menerima. Ukuran-ukuran kualitas manusia berubah pada ukuran prestasi nilai, sementara anak-anak berubah menjadi "monster" atau robot sekalipun banyak pihak tidak peduli. bahkan anak-ana kehilangan "masa" dan "ruang bermain sambil belajarnya".
Anak-anak kita di tingkat bawah "harus" bisa membaca, meskipun akhlaknya buruk. Jika kemudian kita memilih untuk "meluruskan" jalan agar jalan pendidikan kita tak kosong dari nilai-nilai moralitas, misalnya dengan mendorong anak-anak agar belajar memahami orang lain, peduli, santun, kerjasama, tanpa menafikan nilai tinggi sebagai standar utama barangkali masih bisa kita kejar kesempatan untuk memperbaikinya".
Kelak ketika anak-anak cerdas kita kehilangan moralitas, etika, kita akan melihat kembali jalan panjang pendidikan kita. Apakah jalan panjang itu sia-sia membangun anak-anak cerdas saja, sementara kita kehilangan nilai-nilai paling hakiki di dalamnya?
Jika kita tak bisa menjadikannya lebih baik. Barangkali benar, jalan pendidikan kita adalah "jalan tak bertuan" sebenarnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI