Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik "American Warung" Dan Rekonsiliasi

12 Januari 2021   01:54 Diperbarui: 12 Januari 2021   09:11 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilih Amerika Serikat, menggunakan kata-kata andalan Donald Trump, "You Are Fired", dalam acara realitas The Apprentice, untuk menyerang balik Trump. Polarisasi dan perpecahan yang semakin tajam menjadi salah satu tantangan rekonstruksi Amerika paska pilpres.

Apa pembelajaran Amerika terhadap Indonesia?. Mungkin pertanyaannya seperti terbalik?. Menurut Lindy Backues, guru besar di Eastern University, imbas situasi senada juga dialami Indonesia paska pilpres 2019 lalu.

Ketika rival presiden terpilih Prabowo Subianto, mendeklarasikan diri sebagai pemenang pilpres sebelum hasil resmi diumumkan dan setelahnya diikuti dengan langkah gugatan sengketa ke Mahkamah Konstitusi yang berakhir penolakan dan suhu perpolitikan menjadi kelabu karena polarisasi dua kubu lengkap dengan deretan koalisinya.

Untung "politik nasi goreng"  dan "politik gerbong kereta api",  MRT dari stasiun Lebak Bulus hingga Stasiun Senayan  bisa "melunakkan" semua kebuntuan, meredam konflik sosial antar pendukung yang terbelah selama Pilpres 2019, sekaligus menjadi penanda legitimasi Prabowo dan kemenangan Jokowi secara politik. Meskipun tetap saja ujungnya soal distribusi kekuasaan untuk meredam konflik antar elite politik.

Apakah politik American Warung (plesetan dari sebuah gerai waralaba makanan) bisa menjembatani rekonsiliasi Trump-Biden?. Melihat gelagat politik dan karakter Trump, politik model nasi goreng maupun politik MRT tak bakal mempan. 

Cara paling egaliter, seperti diungkapkan Joe Biden di Delaware adalah, "berhenti memperlakukan lawan kita sebagai musuh". Meskipun hal ini berlawanan dengan tuduhan bahwa pemilu jauh dari usai dari kubu tim kampanye Trump.

Bagaimana titik temu bisa dilakukan agar tim lawan merasa didengarkan, dirangkul, dan meyakinkan bahwa kepentingan mereka tidak akan diabaikan. 

Apalagi dalam konteks situasi politik Amerika saat ini, kondisi isu kemiskinan akibat pandemi covid19 dan rasisme masih menjadi api dalam sekam yang dapat memicu ledakan.

Setidaknya itu sedikit catatan, tantangan rekonsiliasi yang harus dihadapi Joe Biden sesudah pelantikan tanggal 20 Januari 2021 mendatang. Pekerjaan rumah sudah menumpuk didepan mata, menghentikan polarisasi dan menstabilkan situasi politik paska pilpres.[han-acehdigest 2021].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun