Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Emisi Karbon dan Air 2025

8 Januari 2021   02:14 Diperbarui: 10 Januari 2021   02:08 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

https://www.kompas.com/sains/read/2020/12/13/130400623/selama-pandemi-covid-19-emisi-karbon-global-turun-2-4-miliar-ton?page=all

DALAM Waterworld, film fiksi garapan Hollywood (1995), yang dibintangi Kevin Costner, bumi digambarkan digenangi air lelehan salju abadi Antartika. Sisanya adalah daratan perang dan perebutan wilayah. Seperti kisah film, bumi diprediksi juga akan mengalami periode itu. Tapi, sebaliknya di tahun 2025, air bersih akan menjadi komoditi paling langka, paling susah dicari, dan paling mahal di pasaran. Benarkah?.

Selain udara sebagai paru-paru bumi, air adalah ibu dari kebutuhan primer manusia. Manusia bisa bertahan hidup tanpa makanan selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, namun tanpa air manusia hanya mampu bertahan selama 1 hari. Udara dan air adalah nutrisi penting manusia, untuk kesehatan dan efisiensi tubuh ideal saja, manusia membutuhkan minimal 2 liter air bersih per hari. Bahkan, jika kemarau, konsumsinya bertambah berlipat ganda.

Dalam Blue Planet karangan Charles Dogan, kelak air akan menjadi komoditi primer bernilai multijuta dolar. Bisnis air akan merajai dan merebut pasar, dan bahkan negara dengan konsep demokrasi yang mengatur bahwa "bumi dengan segala isinya untuk kesejahteraan rakyat" sekalipun, tak mampu berkutik dalam ketiak para pelaku bisnis.

Kelak air juga akan menjadi alat pemicu perang, perang bisnis dan perang dalam arti yang sesungguhnya, perang memperebutkan air. Seperti halnya orang mulai mengincar "bisnis karbon" (emisi karbon dibayar tunai dari per meter persegi hutan hijau), air kelak juga akan dibayar tunai jauh lebih mahal dari realitas sekarang. Kalau Carefure dan Matahari, misalnya, sudah menimbunnya sejak sekarang ia akan menjadi superstore pada era itu.

Hemat air vs kebutuhan
Bagaimana sebaiknya kita menyingkapi kekhawatiran munculnya prahara langka air, jika hal itu menjadi kenyataan bahkan lebih cepat dari yang kita perkirakan? Jika wacana ini kemudian mengarahkan kecemasan orang pada persaingan yang lebih ganas dan membuat sumber air jadi lebih cepat terhabiskan, maka kita mungkin tak perlu menunggu hingga 2025 untuk sampai pada kondisi krisis air. Bahkan di tahun 2020, sudah mulai menjadi tahun dimulainya krisis air, yang dimulai dari penguasaan air oleh segelintir perusahaan air minum.

Kemudian krisis akan bergulir pada meningkatnya kebutuhan air sehat, bersih dan higienis. Sehingga meningkatkan permintaan dan menguras stok karena meningkatnya permintaan. Hukum demand supply adalah hukum normal, yang akan memberikan tanda dan sinyal keadaan air akan menjadi semakin penting dan diperhitungkan untuk dijadikan alasan untuk dimulainya persaingan dan peperangan. Meskipun diawali dari persaingan dan peperangan dalam level bisnis, bisa jadi kemudian akan menjalar pada vis a vis G to G, antar pemerintah dan negara!.

Melonjaknya permintaan air, akan mengeringkan sumber-sumber air tawar pada awalnya, kemudian perang akan diarahkan pada diversifikasi produk olahan baru, menyuling air laut. Seperti yang tengah dilakukan di Dubai, kota multibilyun, "menimbun laut" menciptakan daratan baru, yang kini bukan lagi mimpi, seperti juga yang dilakukan oleh Belanda. Apakah ini juga yang akan menjadi kenyataan ketika pada akhirnya bumi kehilangan air dan didominasi daratan mahaluas?

Agak aneh dan terasa mengada-ada barangkali jika kita sekarang berandai-andai soal itu, karena hari ini, air ledeng masih tinggal di penghujung kran air kita, air minum dalam kemasan masih jadi komoditi kelas kesekian dari sekian banyak kebutuhan primer kita. Walhasil, daya kritis kita masih terbenam jauh, tantangan langkanya air belum dianggap darurat. Kecuali mungkin bagi kelompok para peduli lingkungan yang mulai meresponsnya dengan menawarkan gagasan "lebih ramah dan peduli lingkungan" dengan hemat air.

 Belum terbayang
Sebagian orang mengolok-olok layaknya kisah Nabi Nuh dan perahunya. Dianggap omong kosong ketika bicara krisis air, karena khawatir dengan realitas yang belum terbayang mata. Namun, setidaknya ini akan memberikan renungan, ruang kontemplasi, bahwa konsep keseimbangan manusia dan alam yang selalu digembar-gemborkan para kelompok yang peduli dan respek lingkungan, bukan sekadar sebuah kekhawatiran yang tak beralasan dan hanya berdasar phobia semata. Ini pulalah yang mendasari peringatan Hari Air Sedunia setiap 22 Maret, sebagai tindak lanjut dari Resolusi PBB Nomor 147/1993 tentang Hari Peduli Air.

Mungkin kita kelak akan menjadi generasi yang tak akan menjumpai realitas itu (sebuah dunia minim air), meski faktor gizi mendorong kita memiliki umur lebih panjang, namun kita rapuh dengan berbagai penyakit baru yang bermunculan. Bagaimana dengan anak-anak kita, pernahkan kita memikirkan bahwa langkah kecil untuk peduli pada kekhawatiran masa depan "sebuah dunia minim air", adalah demi buah hati kita yang kelak akan menjalani hidup, minimal dalam kategori normal seperti yang kita rasakan sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun