source: http://dustybookstand.tumblr.com/Â
Meja bundar dengan deretan bangku kayu mahoni memenuhi ruang dan waktu, dinding dipenuhi poster coca cola merah menyala. disisi kanan dalam ada ular tangga memenuhi dinding.
Berkali-kali aku memimpikan ruang itu, maksudku kafe. aku semestinya tak peduli, apakah akan bernama coffee table karena kafeku dipenuhi meja-meja kopi bundar atau persegi, atau coffee terra, yang terdengar manis karena terra terasa tak asing, setidaknya bisa bernama seorang gadis yang mungkin terlihat manis, atau dengan cepat mengingatkan pada kapasitas memori yang over high. atau cocca coffee yang bisa ditafsirkan sedikit tabu karena seperti mengeja kokain dalam bahasa gaul, coca!.
Aku terus bermimpi ruangan kafe itu dipenuhi kursi hitam putih, seperti gula dan kopi, atau hitam kuning yang mewakili dunia yang berbeda.
Aku begitu terobsesi, memikirkannya dengan beragam cara, berhari-hari menyita waktu, melamun, menyesap kopi seperti di kedai sendiri.
Aku ingin ada sebuah sudut di kafe itu yang dipenuhi foto hitam putih koleksi huntingku. Akan gila rasanya menikmati kopi panas ekpresso, disudut ruang berdinding klasik, dengan gemericik air menuruni kaca lima mili. airnya terus mengalir turun seperti suara gemericik gerimis kesukaanku.
Seketika seluruh inspirasi berhamburan dari kepala, memenuhi kertas, layar note book yang terus berkedip dan jari tak lagi beraturan antara sepuluh jari dan dua jari tak ada bedanya. aku cuma menuangkan isi kepala, memenuhi dengan ide-ide dan melahirkan tulisan.
Betapa indahnya, menulis di kursi putih sendiri, di kaffee sendiri, di dinding kaca gerimis dan dalam hitungan bulan aku akan melahirkan berbuku-buku tulisan.
Aku tak peduli apakah akan ada yang membeli, ada yang meminta tanda tangan, karena aku sudah punya tempat mengelanakan isnipirasi.
Seperti terbangun, aku cuma sedang duduk, syukurlah di rumahku sendiri, di beranda kecil di lantai atas, menghadap arah matahari jingga, yang sesaat lagi mengantar sore dengan kumandang azan magrib.
Aku bergegas berwudhu, dengan pakain ter-putihku, memimpin anak-anak dan istri berjamaah, setidaknya dintara lamunan, dan sedikit usahaku aku menyempatkan berdoa, meminta agar kelak sudut ruang kecil, dengan kursi hitam putih dan meja bundar tak lagi sebuah impian lagi.