Sebagian berkeyakinan bahwa membaca Al Qur'an harus didahului ritual wudhu, namun dalam format android  tidak lagi dikenal istilah tersebut. Bahkan nilai kesakralan memegang format Al Qur'an aslinya akan lebih berkah daripada dalam aplikasi android.
Namun dalam dunia yang berubah, antara pilihan tersedia atau tidak, maka mudharatnya akan lebih baik ada meski dalam aplikasi android. Maka kehadiran perspektif baru dalam dunia dayah mungkin harus disambut positif dalam kerangka dakwah menyebarluaskan pengetahuan dayah ke ranah publik yang lebih luas. Karena format dakwah telah jauh berubah mengikut zaman.
Bahkan dakwah at mall dan dakwah on the street menjadi pilihan diantara banyak jenis pilihan dakwah untuk mendekatkan Islam kepada pemeluknya dan audiens lain yang bisa saja tertarik dengan Islam ketika dihadirkan dalam format berbeda. Terutama dalam kondisi godaan tehnologi yang tidak dapat dinafikan.
Menjadi menarik ketika media ini memberitakan pelaksanaan olimpiade matematika yang dilaksanakan oleh Dayah Jeumala Amal Lueng Putu. Pertama karena pelaksana kegiatan tersebut adalah dayah; kedua, karena fokus kegiatan berbasis sains. Dalam persepsi publik yang awam menjadi sebuah eksklusifitas atau bentuk pencerahan baru ketika dayah juga memikirkan sisi sains secara lebih intens dalam perkembangan ilmu dan pencarian solusi untuk berkontribusi bagi masa depan problematika keumatan.
Selain ditujukan sebagai upaya penjaringan peserta didik yang berprestsi di bidang sains, event ini juga ditujukan sebagai bentuk pengenalan sistem pendidikan dayah.
Hal ini berkaitan dengan upaya peningkatan kapasitas sumber daya insani (SDI) yang diharapkan tidak saja mahir dibidang agama dengan penguasaan kitab-kitab warisan tradisi, juga diharapkan menguasai iptek. Sehingga paradigma insan yang berkapasitas Imtaq  (iman dan taqwa) dikukuhkan dengan kemampuan sains.
Hal ini mengingatkan kita pada gagasan awal pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibawah pimpinan BJ Habibie ketika mendorong kelompok elite Muslim di Indonesia tidak hanya besar secara kuantitas, namun juga memiliki basis kualitas.
Sehingga kalangan umat Islam tidak hanya menjadi penonton dalam eskalasi perubahan zaman dan pembangunan, namun juga sekaligus menjadi pelaku perubahan (agent of change).
Hal tersebut dimungkinkan ketika umat Islam juga memiliki kemampuan dan kapasitas menyikapi berbagai perubahan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang makin memudahkan dan memakmurkan manusia.
Dalam konteks dayah, pelaksanaan olimpiade matematika menjadi semacam pembuka isolasi, ketertutupan informasi dan menghilangkan dikotomi dalam melihat ilmu agama dan umum tidak sebagai dua ilmu yang berbeda orientasi sebagai ilmu dunia dan ilmu akhirat. Â
Dalam konteks Aceh Carong, pelaksanaan olimpiade tersebut menjadi lompatan, sekaligus jawaban, bahwa dayah sebagai institusi pendidikan tradisional Aceh, juga mampu menjadi institusi yang menawarkan jalan keluar atas berbagai persoalan pendidikan di Aceh, terutama bagaimana mewujudkan Aceh Carong, bukan hanya menjadi sebuah "menara gading", namun sebagai "mercusuar" yang memposisikan ruh utama pendidikannya untuk "memanusiakan manusia.".