Dua moment menarik mewarnai eksistensi dunia dayah (pesantren;Indonesia) di Aceh. Pertama; aktualisasi dayah, melalui olimpiade matematika, Kedua; launching kitab Masailul Muhtady dalam aplikasi android yang digagas Masyarakat Informasi Tehnologi (MIT) Aceh.
Aktualisasi dayah dalam format berbeda, menjadi bentuk baru pendekatan dayah memperkenalkan perspektif kajian keilmuan yang digelutinya agar dapat direspon publik lebih luas dan tidak terkesan eksklusif.
Semacam upaya 'jemput bola' mendekatkan dayah kepada publik yang selama ini terkesan berada dalam dimensi ilmu yang berbeda. Utamanya karena keberadaan dayah salafi yang kukuh dalam menjaga format tradisional dan dayah modern yang mengkombinasikan persentase pembelajaran agama dan materi ilmu lain seperti  sains dalam formasi yang berimbang. Tanpa meninggalkan jatidiri dan intisari dayah sebagai institusi keagamaan.
Dinamika tersebut merupakan bagian dari implementasi semangat Aceh Carong  yang terus digelorakan Pemerintah Aceh untuk meraih pendidikan berkualitas dalam bingkai  Aceh Hebat.
Transformasi tersebut menjadi bagian dari kerja besar menjawab berbagai pertanyaan krusial terkait peran dayah dalam kekinian pembangunan Aceh. Pertanyaan tentang, bagaimana dayah berkontribusi lebih intens dalam peningkatan kapasitas sumber daya manusia di bidang sains, pemberdayaan ekonomi umat dan bidang lain yang membutuhkan perspektif yang berbeda dimensi?.
Pertanyaan ini berkaitan dengan tantangan eksistensi dayah ketika berhadapan dengan kompleksitas masalah ekonomi, politik, sosial, budaya yang kemunculannya berkembang pesat dan membutuhkan peran serta dan solusi dari dayah dalam menemukan jalan ke luar problematika keumatan di Aceh.
Dikotomi Ilmu
Terlepas dari stigma adanya dualisme ilmu dalam pemahaman awam terhadap dayah, Â sudah lama terbentuk dalam persepsi kita, Pemerintah Aceh menempatkan pendidikan umum dan dayah dalam kerangka kerja yang sama, mencerdaskan anak-anak Aceh.
Realitas tersebut memunculkan dikotomi, adanya ilmu agama dan ilmu umum sebagai dua ilmu yang berbeda. Bahkan beberapa dayah tradisional  tidak 'bersentuhan' dengan 'ilmu keduniawian'. Selain dasar ke-istiqamahan, ada kekuatiran jika kehadiran 'ilmu umum' membuat pembelajaran ilmu-ilmu agama menjadi tidak fokus dan terkontaminasi.
Berbagai kajian yang sudah dilakukan melahirkan semacam konklusi, bahwa dalam perspektif yang lebih kuat akar tradisinya, masih terdapat pemikiran, bagaimana mungkin manusia dapat bergerak jauh melampui kemampuan manusia itu sendiri, karena bahkan dalam menafsirkan kedalaman ilmu-ilmu yang diwariskan Nabi dan para tabi'in dan tabi' tabi'in saja kita belum mampu menuntaskannya. Sehingga dalam khazanah pemikiran tradisional belum atau tidak dimungkinkan adanya upaya untuk masuk kedalam penguasaan ilmu lain sebelum ilmu yang diwariskan para ambiya habis terserap.