Frustasi sosial
Akan menjadi blunder yang berbahaya bagi masa depan bangsa ini, ketika segala upaya untuk memberantas korupsi justru dimandulkan oleh kelompok elite yang semestinya menjadi pioner arah perubahan. Paska 'ujian kasus' praperadilan yang dimenangkan oleh lawan KPK, secara beruntun pukulan bertubi-tubi melanda KPK.Â
Dimulai dari 'kriminalisasi' petinggi KPK dari urusan KTP hingga mengarahkan saksi dalam sidang pengadilan, hingga mengungkit kasus lama yang dikondisikan agar sewaktu-waktu dapat dijadikan basis argumentasi mengubek KPK dari luar dan dalam. Dalam kondisi ini, petinggi KPK berguguran, digantikan petinggi baru yang secara tidak langsung mendapat tekanan kanan kiri sehingga independensinya menjadi labil dan cenderung kompromistis.
Dan dalam situasi serba tidak jelas ini, meminjam istilah Teten Masduki, dibutuhkan upaya 'penyegaran berkelanjutan' dalam mengimplementasikan  strategi nasional (stranas) antikorupsi dengan inovasi metodologi baru.Â
Agar jurus-jurus KPK tidak mudah dimentahkan oleh lawan-lawan 'politisnya'. Jalannya, dengan kepemimpinan kelembagaan, dan peta jalan  pemberantasan harus disiapkan  untuk menentukan prioritas dan efek jera yang lebih luas.
Jika diawal reformasi gejala penyembuhan korupsi mulai menunjukkan dosis obat yang tepat, kini justru makin mengkuatirkan. Jika dulu reformasi dalam bentuk perampingan kelembagaan dan penerapan sistem merit (penghargaan dan promosi pegawai berdasarkan kemampuannya) menjadi agenda utama perbaikan pelayanan umum dan kinerja pemerintah serta BUMN, kini tidak lagi fokus.
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka kita akan mundur jauh kebelakang kedalam situasi ketika frustasi sosial me-nasional, melanda tidak saja seluruh rakyat, juga menjangkiti jajaran birokrasi yang mulai memimpikan Indonesia yang bersih. Apalagi paska peristiwa termutakhir dimentahkannya PKPU No. 20 tahun 2018 yang mengganjal para koruptor oleh MA.Â
Janganlah kekecewaan dan frustasi sosial ini justru tumbuh subur lagi, gara-gara tidak ada kebijakan 'tegas' untuk menguatkan lembaga anti korupsi dan membendung makin suburnya asimilasi korupsi dalam demokrasi Indonesia baru yang sedang menemukan jati diri, lantas menjadikannya sebagai 'democrazy Indonesia'. [hans-2018].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H