Terkait misi dakwah, menarik untuk merenung kaji ulasan Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, bahwa secara normative-preskriptif, ketika seseorang makin sering mengikuti kegiatan keagamaan, mestinya makin berdampak positif dan semakin saleh secara sosial, dan menjadi hamba yang disayang Allah. Tetapi sebagian pendakwah agama cenderung tak menekankan pada sisi tersebut. Bagi para dai, fungsi ritual yang utama itu ada dua; untuk mengejar pahala sebagai tabungan akhirat dan penghapus dosa.
Pendekatan keberagamaan semacam ini menurut Komaruddin, membuat moral semakin lembek, tidak melahirkan gairah menjadikan Islam sebagai sumber dan pilar peradaban. Bahkan menurutnya pendekatan Islam yang kaku, ideologis, dan hipertekstualis, telah menggerus ekspresi keberagaman di Indonesia (Tempo, 24/6/2018).
Komersialisasi dakwah?
Seiring perubahan platform, dakwah online berevoluasi, dari syiar lewat pesan pendek (SMS) premium, kini melaju ke platform media sosial. Dalam konsep yang kekinian, dakwah para dai medsos telah dihitung dalam Rumus Monetisasi. Artinya setiap gerak dakwah mereka dihitung dari minimal waktu tonton; 4.000 jam, dengan minimal pelanggan; 1.000 dan rekapitulasi pendapatan dihitung dengan sistem CPM (cost per milee) atau pendapatan per 1.000 impresi (jumlah iklan yang ditonton).
Monetisasi diperoleh dari penyematan iklan di video lewat Google Adsense dan menyedot pendapatan dari pelanggar hak cipta. Sementara di facebook, twitter dan instagram, pendapatan baru diperoleh jika para dai dan tim kreatifnya menyajikan produk komersial. Jika sebuah video ditonton 10 juta kali, tapi iklan di video hanya ditonton 50 ribu kali, maka video tersebut menjadi 50 ribu impresi. Jika CPM di Indonesia bernilai 0,25-1 dolar AS, maka (50 ribu impresi dikali nilai CPM, dibagi per 1.000), maka pendapatan yang diperoleh adalah 12,5-50 dolar AS.
Dengan Rumus Monetisasi tersebut maka, dai medsos tidak hanya akan mendapat impact positif berupa pahala dari sajian materi dakwah yang ditonton jutaan jamaah jika ikhlas, namun juga mendapat penghargaan pundi finansial secara langsung. Tentu saja di dalamnya harus memenuhi aturan main, bahwa materi dakwah dikaji secara sistematik, tidak hanya mengacu pada produksi media namun juga proses perluasan melalui konten media yang didistribusikan, diterima dan dikonsumsi oleh audien yang telah diregulasi oleh Negara. Meskipun ukuran-ukuran materi tidak semestinya menjadi ukuran mutlak atas nilai "keihklasan" dai berdakwah.
Seiring revolusi dakwah, jangkauan materi dakwah akan bergerak mengikuti trend dan popularitas (viral) para tokoh dakwah tersebut. Namun perspektif intinya bukan semata untuk mengkultuskan materialisme dalam konteks dakwah, dan pengalaman ini jauh dari model dakwah para dai tradisional. Tulisan ini tidak bermaksud memarginalkan peran dai tradisional, karena seiring perubahan trend dan platform dakwah, dunia dakwah juga akan mengalami pasang surut. Dan kita harus siap menyambut perubahan tersebut.
Begitupun, sejatinya dalam perubahan konsep dakwah yang dramatis dan revolusioner sekalipun, segmentasi atas kelas-kelas sosial ekonomi yang beragam masih membutuhkan berbagai model dakwah tradisional untuk terus menguatkan dan menebalkan keimanan umat. Peran dai tradisional masih terus dibutuhkan, berdampaingan dengan para dai yang telah berevoluasi dalam fomasi dakwah yang lebih kompleks dan masyarakat yang lebih hiterogen (beragam). Kita menyebutnya generasi milenial.
Terlepas dari perkembangan model platform dakwah yang revolusioner, minimal ada dua hal yang bisa disentuh dari setiap kehadiran misi dakwah; penguatan pemahaman Islam itu sendiri dan menginternalisasi nilai-nilai keislaman secara minimal dalam keseharian (mengejar pahala sebagai tabungan akhirat dan penghapus dosa). Selebihnya kembali pada masing-masing personal dalam memaknai dakwah yang diterimanya.[hansacehdigest-2018].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H