https://savanapost.com/digital-vigilantisme-media-sosial-dan-narasi-perpecahan/
bincangsyariah.com
PERNAH dengar istilah ngabuburit? Meski arti ngabuburit dalam bahasa Sunda berarti "menunggu petang", namun intensitas penggunaan terma ini selama bulan puasa Ramadhan berubah menjadi "menunggu waktu berbuka". Seorang dai kreatif zaman now kemudian menggunakan istilah ngabuburit untuk mengajak komunitas sepeda motor besar (moge) berkeliling kota; menunggu waktu berbuka, berkumpul di masjid, berjamaah shalat Maghrib, diikuti tausiah setelahnya.
Intinya, dakwah tidak melulu hanya aktivitas ritual ibadah belaka dan diikuti oleh kalangan eksklusif di lingkungan masjid. Dakwah on the street, kini menjangkau komunitas yang lebih beragam. Dai dan format dakwah kreatif kini berupaya "menjemput bola" beragam segmentasi jamaah agar menuju mencintai masjid dengan cara yang lebih populer dan kekinian.
Urgensinya adalah muatan dakwah itu sendiri, bukan hanya lokus (tempat)-nya saja. Informasi dan ilmu pengetahuan termasuk studi agama, tidak melulu hanya dalam ruang masjid dan ruang kelas. Bahkan narasumber yang berbobot, kini bisa lebih mudah dijumpai di media sosial (medsos). Berdakwah di ruang medsos dianggap sangat praktis dan murah untuk menjangkau umat yang luas, berbanding terbalik dengan format dakwah tradisional yang vis a vis dan kompleks mobilisasinya.
Format dakwah mengalami evolusi yang pesat. Mulanya, dakwah dan ruang dakwah terbatas di masjid dan ruang tausiah eksklusif. Seiring waktu dakwah mengalami perkembangan, mulai dari dakwah on the street, dakwah in the mall, travelling masjid, bahkan hingga dakwah di area car free day. Kini bahkan lebih dahsyat lagi, karena dakwah berevoluasi menuju ruang publik yang luas di media sosial, di dunia maya. Video dakwah dai kondang seperti Ustad Abdul Somad, Khalid Zaed Abdullah Basalamah, Hanan Attaki, dan Adi Hidayat kini menjadi "viral" dan ditonton oleh puluhan jutaan orang.
Revolusi dakwah
Revolusi itu tidak hanya berubah dalam format isi, namun juga bergerak lebih jauh secara "komersial", melalui media yang memungkinkan dakwahnya didengar dan disaksikan oleh jutaan orang. Fenomena ini masih menuai kontradiksi dan silang pendapat. Sebagian orang menggangap transisi ini berpengaruh kepada "niat awal" atau idealisme para dai dalam berdakwah. Apakah motivasi akhirat atau justru ketenaran (popularitas-viral) dan faktor komersial yang justru menjadi raja?
Namun sisi positifnya, ketika format dakwah menjadi kian beragam, jamaah makin memiliki banyak pilihan untuk menikmati model tausiahnya. Begitu juga dengan narasumbernya. Lantas, apakah realitas ini bisa menjadi akar benturan antara dai tradisional dan dai modern? Atau justru menjadi bentuk revolusi baru yang menandai trend positif, nilai-nilai dan muatan agama diserap oleh kalangan yang lebih luas, tidak eksklusif dan mendorongnya tumbuhnya trend kesadaran baru beragama lebih kaffah dan universal (membumi).
Revolusi ini dianggap menjadi bagian dari kecermatan para ulama dalam membaca tanda-tanda zaman. Karena jika dakwah hanya dilakukan secara eksklusif di tempat yang terbatas, seperti masjid, mungkin jangkauan misi dakwahnya akan terkungkung jarak, waktu dan kesempatan orang untuk mendengarkan isi dakwah dalam kesibukan duniawi. Akan tetapi ketika format dakwah berubah lebih kreatif, siapa pun dan dimanapun dapat menikmati isi dakwah. Sementara persoalan apakah isi dakwah kemudian dapat merasuk dan mengisi kalbu para jamaah, adalah persoalan yang makin private. Semakin cerdas orang dalam zaman yang canggih, pilihan dan tantangan dakwah makin besar.
Jika ada kalangan yang berasumsi, model dakwah modern dan kreatif dianggap telah terkontaminasi unsur komersial alias materialitas, lantas bagaimana upaya mendorong agar dakwah mudah dan cepat di terima oleh banyak kalangan tanpa terkendala jarak, waktu, dan ruang layaknya dakwah tradisional?
Padahal dalam revolusi terbaru, orang dapat menjangkau dan menerima kehadiran dai melalui WhatsApp, Instagram, Facebook, Twitter, dan format lainnya yang berdaya jangkau luas. Intinya, memanfaatkan ruang media sosial sebagai bagian dakwah adalah sebuah strategi yang positif dari pada ber-ghibah, menghujat, menyebarkan ujaran kebencian, hoaks. Apalagi perkembangan teknologi, kini membuat ruang personal makin sulit diintervensi.