acehkita.com
MELALUI surat bernomor 903.832 tanggal 17 Februari 2016, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengoreksi beberapa item Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2016, dengan catatan pentingnya “kurangi secara signifikan”.
Dalam satu item anggaran yang menjadi temuan, total dari gabungan pos anggaran makan minum untuk peningkatan kompetensi tenaga pendidik pada Dinas Pendidikan (Disdik) Rp 2,4 miliar, pelatihan Lomba Kompetensi Siswa (LKS) dan OSN pada Disdik Rp 4,2 miliar, dan kegiatan SDLB, SMPLB, SMALB Rp 3,9 miliar; yang totalnya mencapai Rp 10,5 miliar, ternyata tidak berbeda jauh dari alokasi untuk pembelian tas kegiatan peserta pelatihan sebesar Rp 7,8 miliar. Belum lagi soal pos dana kegiatan reses serta jamuan tamu di Setda dan Setwan (Serambi, 22/2/2016).
Setidaknya koreksi Kemendagri ini menggambarkan bahwa RAPBA yang diajukan Pemerintah Aceh bersama DPRA belum memiliki kekuatan politik yang kuat untuk menyejahterkan rakyat. Muatannya belum mewakili kebutuhan yang riel rakyat, namun berkutat pada kepentingan transaksional antarkepentingan, yang dibahasakan oleh pengamat ekonomi Rustam Effendi sebagai “kenduri besar para elite”.
Urusan peningkatan kapasitas manusia ternyata nyaris dinafikan. Apakah model kebijakan pengganggaran seperti ini yang menjadi satu musabab ketertinggalan sektor pendidikan kita secara Nasional, serta berbagai persoalan substansial lainnya?
Indikasinya sebenarnya sudah terbaca dalam banyak catatan kritis sepanjang akhir tahun lalu. Bahwa faktor keterlambatan RAPBA merupakan blunder utama kemunculan item anggaran yang tidak kritis, tidak logis dan cenderung aneh. Sebagaimana pernah terjadi pada 2015 lalu, ketika anggaran pembelian daster muncul menjadi item isi anggaran.
Akhir tahun menjadi masa paling melelahkan dalam sejarah panjang penyusunan APBA kita. Dalam waktu bersamaan (akibat keterlambatan), berlangsung dua proses sekaligus. Maksimalisasi penghabisan anggaran yang selalu terburu-buru, (kita tidak bisa menyebutnya optimalisasi, karena tidak idealnya waktu anggaran yang tersedia). Di waktu yang sama kita juga merancang anggaran untuk tahun berikutnya.
Tidak jera
Dalam kondisi berbenturan tersebut, seringkali objektifitas menjadi faktor yang ditinggalkan. Belum lagi bumbu kepentingan politik, sebagaimana berlarutnya pertentangan kubu eksekutif dan legislatif dalam penyusunan RAPBA 2016 kali ini. Namun anehnya dengan begitu banyak pembelajaran dan koreksi serta teguran, dengan konsekuensi “puasa enam bulan” karena keterlambatan APBA, ternyata tidak pernah membuat jera para wakil rakyat dan eksekutif kita.
Tentu kita tidak pernah menafikan kecerdasan dan kelihaian para pimpinan kita, namun barangkali para pemimpin kita tidak pernah bisa mencerdasi realitas ketika harus memilih kepentingan personal, kolegial (pribadi dan partai, kelompok) versus komunal (masyarakat).
Secara political branding, pilihan strategi para calon pemimpin kita ketika berkampanye saja sudah mengindikasikan ada masalah. Pilihan-pilihan politis transaksional adalah pilihan utama dibandingkan dengan jalur dukungan voter relawan yang cenderung tanpa “pamrih politik”.
Sisi ini merupakan sumber masalah karena model politik “dagang sapi” menyebabkan para pemimpin terikat oleh kekuasaan politik yang mengharuskan mereka menjadi kompromis dengan berbagai kepentingan, yang dapat saja menyetir kekuasaan negara menjadi kekuasaan kepentingan kelompok.
Sialnya, model politik ini adalah sesuatu yang jamak di dunia perpolitikan kita. Padahal ini satu sumber penyakit politik kita yang menumbuhsuburkan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) penyakit laten yang tidak ada obatnya. Bahkan penyakit ganas sejenis Ebola, AIDS, Sars dan virus Zika yang terbaru masih ditemukan obat penangkalnya.
Pembelajaran penting bagi para eksekutif dan legislatif kita, tentunya, harus dimulai dari tidak terlambat lagi dalam pelaporan APBA 2016 dan berikutnya adalah tidak terlambat lagi dalam penyusunan RAPBA untuk periode 2017 mendatang. Alokasi waktu yang panjang dalam penyusunan RAPBA 2017 nanti, setidaknya akan mengefektifkan pilihan-pilihan kebijakan anggaran terutama yang pro rakyat.
Jangan memalukan
Faktor logis, realistis menjadi faktor pertimbangan penting dalam menyusun anggaran, agar sesuai kebutuhan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat. Faktor ini setidaknya juga akan berpengaruh pada pilihan-pilihan kebijakan anggaran, sekalipun berbalut dengan hasil koalisi “dagang sapi”. Artinya jangan sampai pilihan orang-orang cerdas di parlemen dan di pemerintahan memalukan kita. Apalagi sampai mempertunjukkan secara vulgar, kepentingan dan kebutuhan untuk memperkaya diri dengan “kenduri anggaran”.
Apalagi dalam proses panjang penyusunan anggaran berbagai aspirasi, masukan dari seluruh penjuru sudah menjadi amunisi bagi anggota dewan dan pemerintahan dalam penyusunan anggaran. Melalui Musrembang diserap berbagai aspirasi penting yang jelas merujuk kepada kebutuhan pembangunan masing-masing daerah dalam kapasitas mensejahterakan rakyat.
Jika data bernilai ratusan juta tersebut tidak digunakan dalam proses penyusunan anggaran tentu saja menjadi sangat mubazir. Jika para penyusun anggaran hanya berpikir, trial and error dalam menyajikan RAPBA sekadar menghindari deadline dan menunggu koreksi Kemendagri agar tidak dicap telat juga bukan solusi cerdas. Jika mau realistis, tentu bukan di gedung dewandan di pemerintahan untuk “cari makan” yang notabene adalah cuma kerja titipan (amanah) mengurus uang negara untuk rakyat.
Kebutuhan kita paling krusial adalah “meluruskan” RAPBA kita berdasarkan koreksi kemendagri yang nyata-nyata memang realistis untuk direvisi. Maka sebagaimana diskursus yang menguat ketika kisruh APBA 2016 yang nyaris dipergubkan dan pilihan solusinya menyerahkan tanggung jawab APBA kepada eksekutif, sementara legislatif meningkatkan pengawasan.
Solusi yang sama yang harus kita semua lakukan pascaproses koreksi Kemendagri selesai dan masuk pada tahapan proses penggunaan APBA, adalah mengawasi dengan ketat sepak terjang para penanggungjawab dana APBA tersebut termasuk mencermati hasil auditnya. Kita juga menunggu janji Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) --saat masih dipimpin Abraham Samad-- untuk “lebih rajin” mengunjungi Aceh, agar nanggroe syariah ini tidak makin tercoreng dengan selemak korupsi yang merajalela.
* Hanif Sofyan, Mahasiswa Program Magister Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry, tinggal di Tanjung Selamat, Aceh Besar. Email: acehdigest@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H