[caption id="" align="alignnone" width="624" caption="SIM"][/caption] Hari itu saya pulang ke Bandung. Kalau tidak lupa hari sudah menjadi Sabtu. Sengaja saya pulang ke Bandung. Biasalah namanya juga orang urban. Tidak usah kau tahu, kenapa saya pulang. Ini rahasia keluarga. Bagaimana kalau saya kasih bocor? Lagi, kalau saya kasih tahu pun, nanti kau bilang pula sama tetangga. Tetanggamu, nanti bilang ke tetangganya. Terus begitu sampai jauh, sampai berkilo-kilo meter panjangnya, sampai jadi berbeda dari pokok asalnya. Sampai bisa-bisa saya digosipkan operasi kelamin. Siapa tahu kan? Tapi ya sudahlah. Daripada saya digosipkan yang tidak-tidak, mending saya kasih tahu kau. Saya sengaja pulang utnuk mengurus SIM. Inginnya saya itu menggemuk SIM. Namun entah kenapa banyak orang ingin SIM itu kurus daripada gemuk. Sebenarnya SIM saya habis tanggal 8 Juli 2009. Bukan habis karena saya makan. Meskipun merantau, saya tidak semelarat itu lah. Saya masih mikir-mikir kalau harus memakan SIM. Apalagi harus makan 2 SIM saya yang sudah bulukan sejak 5 tahun lalu. Hanya saja, khawatir sewaktu-waktu saya kepepet, itu SIM saya ganti saja. Biar kalau sewaktu-waktu dimakan rasanya masih baru dan belum kotor. Pagi itu, sudah tidak lagi sepi. Di depannya sudah lumayan banyak laki-laki berbagai umur duduk bagai patung. Duduk mereka begitu rupa diatas diatas bangku kayu. Menonton orang-orang lalu lalang sambil tak lupa beberapa membakar mulut mereka dengan rokok. Beruntung mulut mereka tidak kebakaran. Kalau pun sampai kebakaran itu hak mereka. Sebab mereka memang ingin mulutnya dibakar. Dua jam berlalu tanpa ada seseorang pun yang berinisiatif untuk meramaikan suasana pagi yang menjadi dingin di Bandung. Tak asoy saya bilang. “Mau perpanjang SIM, Pak?!” itu saya berlagak SKSD “Iya,” kata seorang Bapak yang ada di depan itu saya. Tadinya dia sedang asyik menikmati 3 orang gadis bule yang ikutan duduk di area taman Giant. “Berapa ya Pak biaya kalau perpanjangan SIM?” “Biayanya sih 60 ribu. Tapi itu belum termasuk kesehatan dan asuransi” “Kalau syaratnya?” “Itu ajah fotocopy KTP. Terus SIM” “Oh gitu ya!” jawab saya singkat. Berarti tidak salah saya datang kesini. Padahal sebelumnya saya ragu kalau di ini tempat bakalan ada mobil SIM keliling. Soalnya waktu di Jakarta saya lihat itu di internet belum ada jadwalnya di sini. “Kalau SIM tank sama juga biaya ya Pak?” “SIM tank?” Seperti tidak percaya itu si Bapak. Si Bapak satunya lagi ikutan terkaget-kaget. “Tank baja maksudnya?” “Iya tank baja Pak. Saya mau memperpanjang,” jawab saya. “Sekalian perpanjang SIM traktor juga nih” “Memangnya ada ya SIM tank baja ma SIM traktor?” tanya si Bapak yang baru nimbrung. “Buktinya ini saya mau perpanjang. Kata teman saya, kalau mau perpanjang ke sini saja. Bapak-bapak masih terkejut. “Bapak teh tentara?” “Bukan!” jawab saya. “Atuh kalau perpanjang yang gitu mah ga bisa disini. Da disini mah perpanjang SIM A, B dan C ajah” salah satu Bapak mencoba menjelaskan kepada saya. “Kirain disini biasa juga Pak” “Di Kodam mungkin bisa kalau perpanjang yang begitu mah” “Kodam dimana Pak?” “Jalan Sumatera” “Wah, ya sudah atuh kalau begitu saya kesana saja. Sudah siang. Capek saya menunggu dari tadi. Kirain disini bisa” sambil menggerutu saya ambil HP. Pura-pura me-massage-nya, “Ah, maneh mah teu bener cuy. Didieu teu bisa perpanjang SIM tank nyaho! Urang dititah ka pulau Sumatera geura. Jauh nyaho. Enya Sumatera. Sumpah. Tah ceuk si Bapak-bapak didieu.. Kumaha ateuh? Ekoy. Ekoy. Ekoy. Heueuh. Jadi uing kudu numpakan angkot ST Hall – Gunung Batu. Engke eureun di Poliwiltabes, nya? Ekoy. Ekoy. Warna bulao kan? Langsung ka Polwiltabes Sumatera kan? Ekoy. Nuhun nya!” Klik. “Bukan pulau Sumatera, Pak!” “Jalan Sumatera, kan?” “Tadi Bapak bilang pulau Sumatera” “Ah masa sih?” “Trus kalau ke Kodim bukan naik ST Hall –Gunung Batu. Tapi naik yang itu tuh. Yang hijau!” “Teman saya tadi kasih tahunya begitu” “Kalau mau ke Polwiltabes emang pake yang itu. Tapi kalau ke Kodim pake yang hijau” “Bener Pak. Pakai yang hijau aja” sahut si Bapak yang satunya lagi. “Ah biarin lah. Teman saya bilang begitu. Nanti saya tanya-tanya saja kalau ada polisi. Pergi dulu ya Pak”. Saya tinggalkan bapak-bapak itu. Mereka saling bertanya-tanya. Siapakah saya gerangan. Ah tak penting jawab saya. Lupakan saja. Saya hanya bosan menunggu mobil keliling tidak datang-datang. Mending saya langsung perpanjang SIM di Polwiltabes saja kalau begitu. Lanjutkan! Saya baca tulisan itu di banyak tembok yang menjadi kotor karenanya. Kenapa mereka bisa tahu kalau saya akan melanjutkan perjalanan ke Polwiltabes ya? Ah biarlah. Barangkali yang ada di foto bertulisan itu memang mau menjadi paranormal sehingga bisa meramalkan kepergian saya. Itu saya masuk ke dalam bangunan yang di depannya ada harimau hitam. Si harimau seolah-olah mau memakan saya. Tapi saya tidak takut. Seperti tidak takutnya orang-orang yang malah menyenderkan tubuhnya di harimau itu. Malah ada seorang anak kecil yang memasukan tanganya ke dalam mulut harimau itu. Kasihan kata saya. Harimau bertulisan polwiltabes dibawahnya itu sangat suka disuap oleh anak kecil. Pantas saja harimaunya tidak berani menegur orang yang menyender di badannya. Setelah saya masuk ke dalam bangunan tersebut ternyata orang-orang sudah membuat dirinya seperti semut disana. Penuh sesak. Seperti ikan asin bandeng yang ditumpuk sedemikian rupa oleh penjual di pasar. Beruntung di sela-sela menjalani proses perpanjangan SIM, saya bertemu dengan seorang yang nampaknya seorang polisi. Itu saya lihat dari bajunya yang seperti pegawai pabrik coklat di Banjaran. Bedanya hanya ini banyak gambar-gambar aneh di kiri kanan bajunya. “Pak, jujur nih. Dulu saya paling malas kalau disuruh kesini?” ungkap saya ditengah-tengah obrolan yang sengaja tidak saya ceritakan semuanya dari awal. “Memangnya kenapa?” tanya polisi yang memang punya senyum imut ini. Sumpah bukan saya penyuka sesama jenis. Tapi kalau imut tentunya saya harus jujur. Sebab dengan mengatakan yang sejujurnya akan keimutan dia maka secara otomatis saya sudah menyakini bahwa Allah itu Maha Pencipta Segala yang imut-imut. Itu kata saya. “Dulu saya sempat berantem dengan seorang polisi yang dinas disini. Kami disuruh berkelahi secara jantan di lapangan Mapolwiltabes” “Terus jadi tidak berkelahinya?” “Ya tidaklah Pak! Saya tolak pilihan seperti itu. Secara saya kan dulu mahasiswa. Saya ungkapkan saja kalau dengan berkelahi justru akan merusak citra polisi itu sendiri” “Terus?” “Akhirnya tidak jadi berkelahi. Urusan beres” “Memangnya kenapa kok bisa sampai begitu?” “Biasalah Pak sesama anak muda. Hehehe” Jari saya biarkan colek lengan kanan si bapak polisi yang berbulu itu. Biar terkesan genit. Biasanya kalau orang sudah digenit-genitkan oleh orang lain mereka tidak akan marah. Bisa jadi karena tergoda. Atau bisa juga karena jijik digoda oleh sesama jenis. Lain ceritanya kalau lawan jenisnya. Tapi memang itu maksud saya. Agar si bapak polisi merasakan keduanya. Syukur-syukur kalau penasaran. Soalnya selama ini pun saya selalu penasaran dengan polisi. Kenapa dari dulu hingga sekarang mereka berseragam coklat. Apakah tidak takut dituduh sebagai pramuka. Padahal kan agar kesannya bersih, netral, elegan, lebih baik seragam mereka diganti menjadi warna putih. Pasti kesannya lebih elok. Eh, tapi tidak juga. Kalau tengah malam, polisi sedang melakukan operasi salah-salah dikira pocong. Saya batalkan pernyataan saya tentang seragam tadi. “Sedang buat SIM atau perpanjang?” tanya Pak polisi. “Perpanjang SIM A & C Pak” “Oh” “Sayang ya Pak, bikin SIM tidak online seluruh Indonesia. Kayak bank begitu” sesal saya “Coba kalau seperti di luar negeri yang semua surat-surat administratif ini diselesaikan satu atap. Pasti saya tidak perlu jauh-jauh pulang ke Bandung” “Memangnya dari mana?” “Saya kerja di Jakarta Pak. Tapi kata polisi disana saya tidak bias memperpanjang SIM disana. Harus di Bandung. Atau bawa surat mutasi” “Iya sih kalau semua kayak di luar negeri seperti itu enak” “Coba saja capres-capres yang sedang pemilu seperti itu ya Pak!” “Hehehe…” Si Bapak terkekeh. “Pak, kalau SBY ikutan tes SIM dan perpanjangan juga tidak?” tanya saya. “Ya nggak atuh! Dia mah special. Lagian buat apa? Kan sudah ada sopir” “Kalau James Bond?” “James Bond?” “Iya James Bond agen 007!” “Gak tahu. Tanya saja ke bosnya!” “Kalau misalnya gaji polisi diturunkan oleh SBY bagimana Pak?” “Memangnya SBY yang bakal jadi presiden lagi?” “Kan ini mah misalnya Pak. Kalau SBY jadi presiden lagi ceritanya” “Ya kita sebagai aparat sih bagaimana atasan saja. Kita ini kan mengabdi” “Iya saya tahu Pak.” kata saya, “Ini mah dari lubuk hati yang terdalam, bagiamana perasaan Bapak?” “Ya kalau kayak begitu sih saya tidak suka” “Berarti bapak tidak akan mencontreng SBY dong?” “Polisi kan tidak ikutan pemilu. Kita malahan jaga di TPS” “Oh iya ya” “Memangnya Bapak nanti mau pilih siapa?” sekarang bagian polisi yang bertanya kepada saya. Saya jawab saja, “Pilih Pak Haji Deden!” “Kok Deden sih?” “Ya iya lah Pak. Secara Pak Haji Deden lah yang visi misinya sesuai dengan apa yang saya mau. Kalau Pak Bambang, Pak Yusuf terus Ibu Wati mah menurut saya itu bukan pilihan” “Bentar…bentar… pemilu mana dulu nih? “Iya pemilu kades di desa saya!” tegas saya, “Bayangkan saja. Hanya Pak Deden yang punya prinsip memajukan desa dengan menanam padi dan umbi-umbian di desa saya. Sedangkan yang lain, mereka inginnnya membudidayakan perikanan laut. Padahal seharusnya bapak tahu sendiri. Desa saya itu adanya di atas gunung. Perut warganya diciptakan untuk makan makanan sejenis padi-padian. Kalau dikasih seafood sedikit saja biasanya mereka langsung gatal-gatal. Malah sebagian muntah. Sokmenurut Bapak mendingan mana?” “Maksud saya bukan yang itu” “Jadi yang mana?” “Pemilu presiden nanti tanggal 8 Juli” “Oh yang itu. Bilang atuh dari tadi!” “Kan tadi kita sedang membicarakan pemilu” “Saya kira pemilu di desa saya” “Si Bapak mah otaknya kemana saja” “Yeeee… Bukan kemana saja. Ada disini nih” telunjuk saya arahkan ke kepala saya. “Tapi kalau pemilu sekarang sih. Ya tetep saya pilih Pak Haji Deden saja!” “Ceritanya golput nih Pak?” “Bukan maksud saya untuk menjadi golput. Tapi berhubung cita-cita saya begitu tinggi. Saya khawatir tidak ada capres yang dapat memenuhi apa yang saya cita-citakan. Kan kasihan nanti kalau mereka tidak amanah maka dosanya ditanggung mereka. Bayangkan saja kalau 200 juta rakyat Indonesia tidak merasa mimpi mereka terakomodasi. Apa tidak berbahaya tuh buat pemimpinnya di akhirat kelak. Saya tidak mau menjadikan mereka berdosa karena saya” “Tapi kan kita ini harus peduli dengan negara ini” “Bukan saya tidak peduli dengan negeri ini Pak. Justru karena saya pedulilah maka saya memilih begitu. Lagian kalau tidak peduli, buat apa saya capek-capek memperpanjang SIM. Toh, kalau tidak peduli mah kumaha aing we rek make SIM atawa heunteu oge. Memperpanjang SIM itu salah satu bukti kecil kalau saya ini ingin keadaan negeri ini teratur, tertib dan sesuai dengan aturan hukum” “Kalau tidak salah saya pernah baca kalau kita harus memilih yang terbaik dari yang terburuk. Bener tidak Pak?” ujar Pak polisi “Kok tanya ke saya? Tanya ke yang menulisnya saja Pak! Hehehe…” “Iya tapi ada kan hukumnya seperti itu” “Kalau saya sih begini saja Pak. Kalau misalnya Bos kita menyuruh kita sholat tapi tanpa sujud dantakbiratul ikhram. Kira-kira Bapak mau sholat tidak? Atau mau menuruti apa kata Bos?” “Ya nggak lah. Masa sholat begitu!” “Yakin ni Pak?” “Iya” “Kalau Kapolwiltabes bilang seperti itu?” “Masa beliau bilang begitu sih!” “Segalanya bisa mungkin saja terjadi Pak. Apalagi dunia ini bulat” ujar saya, “Bagi saya, kalaulah hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah dijadikan aturan meskipun niatnya benar maka tetap saja hal itu salah. Jadi kalau sholat tanpa sujud & takbir itu berarti sama saja tidak sholat. Tidak ada nilai ibadahnya sedikit pun. Sebab ketakutan kita hanya kepada Bos bukan kepada Allah” “Berarti kalau begitu sholat tidak perlu. Sama berdosa dong?!” “Saya tidak mengatakan sholat tidak perlu. Sholat itu wajib. Usaha kita agar sholat itu terlaksana pun menjadi wajib hukumnya kalau sholat itu terhalangi prakteknya. Jadi bukan berarti saya tidak akan sholat justru saya akan paksa Bos saya sholat sesuai dengan aturan yang benar” “Memangnya capres-capres yang ada sekarang ada yang menghalangi sholat?” Gubrags! Ini saya yang bego atau capres yang bego ya? Tapi kayaknya saya yang salah menjelaskan. Maklumlah. Saya sudah kecapekan menunggu proses perpanjangan SIM ini. Sejak dari jam 8 pagi hingga jam 3 sore masih saja nama belum dirayu-rayu oleh pengeras suara. “Bapak Begundal Milita!” Yeah! Akhirnya nama saya dipanggil juga. Penantian seharian tuntas sudah. Saya angkat bokong saya menjauhi bangku. “Pak, saya pamit dulu. Nama saya sudah dipanggil” dengan sopan saya meminta pengertian polisi yang sejak tadi menemani saya membuat waktu seolah-olah habis. “Oh iya. Silakan lanjutkan!” jawab polisi. “Pak, Bapak tidak sedang beriklan kan?” “Maksudnya?” “Iya itu tadi yang Bapak bilang; Lanjutkan!” “Hahaha….. Tidak. Tidak. Bisa saja si Bapak mah” Iya Pak saya juga tahu maksud Bapak. Mana mungkin Bapak polisi yang budiman menjadi agen capres tertentu. Saya paham bahwa yang bapak maksud agar saya melanjutkan proses perpanjangan SIM-nya. Dan saya tahu yang Bapak maksudkan juga agar saya melanjutkan pilihan golput saya. Benar tidak Pak? Kalaulah memang benar apa adanya. Maka saya pun akan; LANJUTKAN!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H