Mohon tunggu...
Yudi Firmansyah
Yudi Firmansyah Mohon Tunggu... -

Whatever! I LOVE INDONESIA!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak Indonesia yang Menyambung Kehidupan Di Jalanan

5 Juli 2014   20:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:21 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terik panas matahari begitu menyengat, namun panas matahari itu sudah menjadi sahabat bagi Eman. Setiap hari dia mengamen untuk mencari sedikit uang agar bisa terus menjalani kehidupan. Ia mencari uang untuk bisa makan dan juga untuk menabung. Uang hasil mengamen yang ia dapatkan selalu ia sisihkan walau sedikit untuk menabung. Ia rajin menyimpan uangnya walaupun hanya ribuan rupiah demi pengobatan ayahnya yang sakit terkapar. Ia sisihkan uang tersebut dengan harapan suatu hari nanti bisa membawa ayahnya berobat. Harapan yang entah kapan akan terlaksana, namun ia tak sedikitpun gentar dan menyerah. Terus berikhtiar untuk menyambung kehidupannya dan juga demi cita-cita yang sangat mulia yaitu ingin melihat ayahnya sehat kembali dari penyakit stroke yang dideritanya.

Eman sudah lama tidak bersekolah, sejak ia lulus SD ia sudah berhenti sekolah karena ayahknya di PHK dari pekerjaannya. Pekerjaan ayahnya hanyalah seorang buruh pabrik dengan upah minimum. Ibunya meninggal di saat ia dilahirkan ke dunia ini. Eman tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu, terkadang ia iri melihat temannya yang masih memiliki ibu. Namun, ia selalu berdoa untuk ibunya tercinta. Baktinya ia lakukan dengan selalu mendoakan ibunda tercinta. Sungguh berat kehidupan yang dijalani oleh Eman, di usianya yang masih 14 tahun ia harus berjuang mengarungi kehidupan yang sangat kejam ini. Terkadang ia selalu mencurahkan keluh kesahnya itu pada Tuhan. Ia melihat banyak anak yang seumur dengannya masih memiliki orang tua yang lengkap dan kehidupan yang lebih daripada cukup. Namun, anak tersebut tidak mensyukuri atas kehidupan yang diberikan oleh Tuhan.

“Tuhan kenapa engkau memberikan kehidupan seperti ini kepadaku? Lihatlah masih banyak orang yang diberi kenikmatan olehmu namun mereka tidak bersyukur kepadamu. Tapi aku yang bekerja setengah mati untuk menghidupi aku, ayah, dan adikku. Aku masih sangat bersyukur kepadamu. Kenapa engkau tidak memberikan kenikmatan itu kepadaku saja tuhan?” Ia berkeluh kesah dari hati yang terdalam, melihat kesengsaraannya yang hanya menjadi seorang rakyat jelata. Wajarlah baginya melakukan hal seperti itu, karena di saat di mana anak seusianya menikmati masa remajanya dia harus membanting tulang untuk menghidupi keluarganya. Adiknya masih kecil jadi ialah yang menjadi tulang punggung keluarga. Jalanan selalu menemani dalam mencari pundi-pundi uang yang Eman kumpulkan. Ia selalu mendekati mobil-mobil yang ada di lampu merah atau mengamen di tempat yang sedang ramai orang.

Di saat ia beristirahat sejenak datanglah sahabatnya syahreza yang selalu ia panggil Eza. Ia seorang tukang koran yang nasibnya tak berbeda jauh dengannya.

“Gimana man udah dapet berapa ngamen seharian gini?”

“Ya lumayan lah udah ada buat beli nasi sama tahu tempe buat bapak sama adikku di rumah.”

“Itu korannya laris Za?”

“Ya lumayan jugalah, alhamdulilah hari ini gak kaya hari kemaren.”

“Lagi rame berita apa nih Za?”

“Biasalah korupsi masih jadi topik utama di koran-koran.”

“Sampai kapan yah bangsa ini bisa bebas dari korupsi? Biar rakyat Indonesia yang kaya kita-kita ini bisa hidup sejahtera.” Sambung si Eza

“Kita mah rakyat kecil cuman bisa liatin para pejabat makan di restaurant yang enak-enak, tidur di rumah gedongan, kemana-mana  di anter jemput naik mobil.”

“Ya emang udah nasib kita Man hidup kaya gini, udah takdir dari yang di atas hidup kaya gini.”

“Tapi coba kalau duit yang dipake korupsi itu dikasihin buat rakyat yang ngebutuhin kaya kita gini kan pasti lebih bermanfaat za.”

“Emang sih, tapi namanya manusia kalau udah di atas suka lupa sama yang di bawah kaya kita ini.”

“Aku rindu bangku sekolah man, pengen rasanya bisa sekolah lagi kaya dulu.”

“Aku juga sama za, emangnya gak pengen jadi orang pinter terus jadi anak bangsa yang bisa banggain negerinya.”

“Gayamu man ngomongnya hebat bener pengen banggain bangsa. Hahahahah”

“Emangnya orang kaya kita gak boleh punya cita-cita kaya gitu?”

“Gak ada yang larang sih, malahan kalau suatu saat kita bener-bener bisa jadi orang yang berguna kita gak boleh kacang lupa kulitnya yah? Hahahah”

“Bener  man, takdir mah gak ada yang tahu yah entar kita bisa jadi apa. Hahahah.”

Mereka berdua beristirahat sambil mengobrol ringan tentang cita-cita yang mulia untuk menjadi orang yang bisa berguna bagi bangsa dan negara. Walaupun mereka menganggap cita-cita yang mulia tersebut hanya ada di dalam khayalan mereka saja. Mereka berdua saling menyemangati dalam menjalani ganasnya kehidupan ini. Mereka telah merasakan hidup yang sangat perih dan menanggung tanggung jawab yang sangat besar untuk menghidupi kehidupannya. Walau mereka anak jalanan, namun mereka masih mempunyai cita-cita yang sangat mulia.



Hari telah berganti hari Eman pun masih menjalani hari-harinya dengan mengamen di pinggiran jalan kota. Debu dan terik matahari menjadi sahabat sejati untuk Eman. Eman mengamen dengan menyanyikan lagu-lagu yang merupakan jeritan seorang rakyat jelata di bumi pertiwi. Para pendengar yang mendengar nyayian Eman terlihat mengangguk-angguk seakan mereka juga merasakan realita  yang terjadi di bumi pertiwi ini. Korupsi merajalela, angka kemiskinan semakin meningkat, tingkat kriminalitas yang tinggi, dan kesenjangan sosial masih terus terjadi.

Eman menyerukan jeritannya sebagai seorang rakyat jelata lewat nyanyian yang di iringi oleh ukulele miliknya. Ia terampil menciptakan lagu-lagu sederhana namun terdapat makna yang sangat dalam. Ia selalu bersemangat apabila mengamen di depan para birokrat. Karena ia seakan sedang menyuarakan jeritan hatinya kepada orang-orang yang sedang memiliki jabatan. Ia ingin mereka itu mendengar seperti apa kehidupan rakyat jelata di negeri ini. Ia ingin bahwa orang-orang yang memiliki jabatan tersebut bisa melihat kebawah bahwa masih banyak orang-orang yang butuh diberi perhatian khusus oleh pemerintah.

Saat hari mulai menuju senja, Eman berjalan pulang dengan membawa buah tangan akan hasil ngamennya. Makanan yang hanya ala kadarnya, saat Eman sudah pulang ia menghampiri sang ayah tercinta dan ia memijit ayahnya yang sedang terlelap. Sang ayah pun terbangun, dan melihat eman dengan penuh rasa iba.

“Man maafin bapa yah, bapa belum bisa jadi bapa yang baik buat keluarga. Bapa merasa gagal jadi seorang kepala keluarga. Maafin bapa Man.” Tatap sang ayah melihat eman dengan rasa iba.

“Jangan ngomong kaya gitu pa, ini cobaan buat kita. Mudah-mudahan semua ini ada hikmahnya pa.”

“Bapa malu sama kamu Man, kamu harusnya setiap hari bisa bersekolah tapi kamu sekarang harus banting tulang gantiin bapa jadi tulang punggung keluarga.”

“Sudahlah pa, bapa gak usah khawatirin Eman. Bapa doain aja Eman biar tiap hari Eman bisa dapet uang buat makan kita sekeluarga.”

“Bapa bangga punya kamu Man.”

Eman pun memeluk sang ayah tercinta dan ayahnya pun memeluk Eman walau ia hanya bisa terbaring di tempat tidur. Setelah itu Eman menyiapkan makanan untuk dimakan bersama. Adik Eman yang masih berumur 7 tahun pun membantu Eman menyiapkan makanan. Jarang keluarga Eman bisa makan 3 kali sehari, namun mereka masih tetap bersyukur atas apa yang telah diberikan Tuhan.

Ayah Eman memimpin doa sebelum mereka bersantap. Eman dan adiknya pun begitu khusyuk berdoa kepada tuhan dan mengucap syukur atas apa yang telah diberikan tuhan kepadanya.

“Wah kita makan enak nih hari ini, ada ikan sama tahu.” Sahut ayahnya,

“Maaf yah pa, de, ikannya cuma bisa beli satu.” Jawab Eman kepada ayah dan adiknya.

“Gak apa-apa ka, segini juga udah alhamdulilah. Jarang-jarang kita bisa makan kaya gini.” Sang adik ikut berkomentar

Eman sekeluarga pun menyantap makan malam tersebut dengan penuh rasa syukur. Walaupun makanan yang mereka makan sangat sederhana. Ikan kecil pun mereka bagi menjadi 3 dan tahu yang hanya ada 2 biji pun di bagi menjadi tiga. Namun, keluarga kecil ini hidup dengan sangat harmonis dan sangat hangat. Eman menyuapi ayahnya yang terbaring dan ayahnya pun sangat merasa bangga mempunyai anak sehebat dan sekuat Eman. Walau umurnya masih belasan tahun, tapi ia bisa bersikap dengan sangat bijak. Dan sikap Eman seperti itu menjadi panutan bagi adiknya.

Waktu isya pun datang, Eman pergi mengambil wudhu dan juga adiknya. Eman pun menjadi imam untuk melaksanakan shalat berjamaah. Setelah shalat isya Eman biasanya mengajari adiknya membaca dan menghitung, ia ajarkan kembali hal-hal yang telah ia pelajari sewaktu masih bersekolah kepada adiknya. Selain itu, Eman juga rajin membaca koran-koran dan buku-buku bekas yang terkadang ia beli dari tukang rongsok atau terkadang ia juga mendapatkan buku-buku bekas dengan cuma-Cuma.

Putus sekolah tidak menjadi halangan bagi Eman untuk mencari ilmu, karena Eman berpikir bahwa ilmu tidak hanya didapat di bangku sekolah. Eman adalah anak yang rajin membaca, dengan ilmu yang ia bawa seadanya semenjak merasakan bangku sekolahan ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dan membaca menjadi hobi Eman, karena Eman sangat haus akan ilmu dan pengetahuan. Walaupun ia hanya bisa mengajari adiknya membaca dan menghitung, ia mempunyai tekad agar kelak ia dan adiknya bisa menjadi anak yang mengangkat harkat dan martabat keluarganya. Cita-cita yang begitu tinggi yang ingin Eman capai.   (Yudi Firmansyah)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun