Tahukah Anda, luas wilayah Provinsi DKI Jakarta yang hanya 661,52 km² ini didiami oleh sekitar 12 juta jiwa? Bandingkan dengan provinsi lain, semisal Jawa Tengah yang memiliki luas wilayah mencapai 32.544,12 km² tapi hanya didiami oleh sekitar 33 juta jiwa. Dari angka-angka ini, tergambar betapa sempitnya lahan Jakarta, yang pastinya juga sangat terbatas sumber daya alamnya untuk memenuhi kebutuhan hidup warga.
Salah satu sumber daya alam yang harus dikelola secara arif adalah ketersediaan air tanah untuk kebutuhan warga. Belakangan ini, ancaman kekeringan menjadi pokok bahasan utama pemerintah. Hampir di seluruh daerah, mengalami krisis air. Tidak hanya di wilayah timur Indonesia, yang setiap tahun saat musim kemarau langganan krisis air, tapi juga sudah dirasakan oleh penduduk di sebagian Pulau Jawa. Termasuk sejumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah, seperti Blora, Grobogan, Rembang, Pati, Demak, Kudus, Wonogiri, Solo, Sragen, Pati, Kebumen, Pemalang, Brebes, Banjarnegara dan Semarang.
Bagaimana dengan Jakarta sendiri? Tak banyak yang tahu kalau akhir bulan lalu ada sedikit gangguan pasokan air akibat runtuhnya pintu limpasan saluran pembuang Kanal Tarum Barat/Kalimalang dan sebagian tanggulnya di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur. Namun, pihak PDAM segera mengatasi masalah ini dan memastikan pasokan air warga secara berangsur pulih.
Terlepas dari persoalan teknis bagaimana pemerintah DKI Jakarta dan PDAM mengatasi pasokan air bersih, faktanya persoalan ini tidak sampai membola salju hingga berdampak pada masalah sosial. Tercermin pada keseharian warga Jakarta yang hingga hari ini tidak mengeluhkan ancaman kekeringan. Musim kemarau ini memang membuat suhu udara sangat panas, tapi ketersediaan air bersih bagi warga Jakarta tetap aman.
Warga Jakarta seperti lupa betapa masalah kekeringan bertahun lalu pernah menjadi momok. Warga Jakarta sudah melupakan era 1980-an ketika pernah ada profesi penjual air pikulan yang menjajakan air keliling ke rumah-rumah. Dapat diasumsikan pikiran manusia melupakan hal-hal buruk dengan berbagai cara. Ini disebut Teori Melupakan, yakni ketika orang melupakan hal-hal buruk karena mereka tidak ingin mengingat pengalaman traumatik itu. Anderson (1995) menganggap bahwa represi menyebabkan kehilangan memori. Dalam konteks Jakarta, warga melupakan pengalaman traumatik krisis air di era 1980-an, didorong oleh kenyataan sulit itu sudah tidak terulang di era kekinian.
Di sisi yang berseberangan,yakni persoalan banjir musiman, ternyata juga berlaku hal yang sama. Warga Jakarta pernahdiakrabi oleh kata siklus banjir besar lima tahunan. Banjir besar pernah merendam Jakarta pada tahun 2002, dan kemudian terulang lagi pada 2007. Tahun lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meramalkan siklus lima tahunan akan berulang pada Januari-Februari 2012.
Ternyata ramalan keliru! Tapi, warga tak mau mengingatnya. Padahal, tetap ada hubungan sebab akibat, mengapa mata rantai siklus banjir lima tahunan itu terputus. Pembangunan belasan danau buatan dan selesainya Proyek Banjir Kanal Timur memberi andil besar menghindarkan Jakarta dari siklus banjir besar di musim penghujan.
Setali tiga uang dengan harapan warga, semoga Jakarta tetap aman dari ancaman kekeringan di pengujung kemarau panjang ini. Bila demikian kenyataan dan harapan warga Jakarta, tak seharusnya tatanan pembangunan kota diusik oleh ekstasi demokrasi yang memboncengi Pilkada DKI Jakarta. Sungguh naïf bila berharap sesuatu bisa diberikan seorang dari kota di Jawa yang masih dilanda kekeringan saat musim kemarau dan kerepotan bila air Bengawan Solo meluap sampai jauh di musim penghujan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H