Selamanya, saya tidak akan pernah sembuh dari luka jiwa akibat kematian Kurt Cobain dua dekade yang lalu. Luka itu, meski tidak lagi menganga, akan selalu ada di sana. Di dalam hati saya.
Dua puluh tahun dan kita terlena. Hantu kematian yang memayungi grungesepertinya sudah mati. Tidak ada kejadian apa-apa lagi setelah kematian Layne Staley beberapa tahun menyusul Kurt Cobain. Sampai kemudian, beberapa waktu lalu, kenyataan menghantam. Chris Cornell menggantung dirinya di kamar hotel, tepat setelah menggelar konser di Detroit. Dear, Lord.
Dan hari ini, alangkah terkutuknya kita semua. Chester Bennington mengambil jalan yang sama. Menggantung dirinya.
Apa yang pertama terlintas di kepala saya bukanlah kesedihan, melainkan kengerian. Betapa saya merasa ngeri membayangkan perasaan anak-anak Chris Cornell. Chester Bennington adalah godfathermereka. Bapak baptis. Betapa gelap dan barangkali hampir tidak bisa dicerna kenyataan bahwa bapak dan bapak baptis mereka sama-sama bunuh diri. Sungguh dunia yang celaka!
Generasi saya, gerombolan yang sama kerasnya bekerja seperti kami bermain, kelompok populasi dunia terakhir yang merasakan nikmatnya bermain di jalanan tanpa harus takut mati ditembak atau digilas kendaraan bermotor, sepertinya memang terikat pada takdir mengerikan. Pahlawan-pahlawan kami yang menyuarakan perihnya hidup, yang menjalani semua dengan jujur dan hati terbuka, yang menjadi soundtrack masa remaja yang gila, satu per satu gugur seperti daun tua. Mati.
Alangkah beratnya kini mendengarkan lagu-lagu Nirvana, Alice in Chains, Soundgarden, dan Linkin Park. Suara-suara itu, yang semua terdengar indah dan terasa menguatkan, kini menjadi suara-suara harapan yang pecah berantakan.
Entah ke mana semua nanti akan melangkah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H