[caption id="attachment_121852" align="aligncenter" width="300" caption="Edane at Java Rockingland 2011 - foto by Purnomo"][/caption] Menghadiri festival rock dengan 10 panggung raksasa didalamnya selama 3 hari penuh seharusnya diklasifikasikan sebagai olahraga ekstrim!
Betapa tulang tua ini rasanya remuk redam setelah berjalan berkilo-kilometer jauhnya, pindah dari satu panggung ke panggung lain, berulang-ulang selama 8 jam setiap harinya, mengikuti jadual band-band incaran. Betapa tubuh yang lebih banyak lemak dibanding ototnya ini sudah berceceran di tanah kering setelah selama dua hari penuh tanpa henti berteriak, melompat, dan memasukkan sebanyak mungkin alkohol yang bisa ditemukan.
Dan hari ketiga, tak perlu ahli kesehatan untuk memprediksi hal ini, kami mulai dengan... tidur!
Setelah terbang kelangit bersama God Bless, Ed Kowalcyzk, BIP, dan The Cranberries malam sebelumnya, saya dan gerombolan bocah gila yang terdiri dari Dhia, Dani, Kuda, Boy, Novi, Harris, dan Aya mendarat di hotel jam tiga pagi.
Dan jam tiga pagi, apa yang lebih baik dibanding segelas penuh Chivas Regal sebagai obat tidur?
Jam 11:30 kami baru terjaga dan dunia seperti berlari meninggalkan kami!
Tergesa-gesa kami mandi, membereskan barang-barang, dan hengkang dari hotel. Sungguh bukan cara paling brilian untuk memulai hari terakhir festival rock terbesar se-Asia Tenggara bertajuk Java Rockingland (JRL) 2011 ini.
Setelah bengong selama nyaris satu jam penuh di lobby hotel, akhirnya kami benar-benar angkat kaki dari sana dan berakhir di Bandar Jakarta. Let the Kraken out!
Di restoran sea food legendaris inilah saya disadarkan kembali betapa kita, bangsa Indonesia, sungguh diberkati oleh Sang Pencipta.
Disana tersedia berbagai macam hewan laut lokal yang segar. Beragam udang, cumi, berbagai jenis kerang, kepiting telur, kepiting banci, ikan bawal, gurame, kakap, kuwe, dan lain sebagainya. Sungguh hanya orang-orang picik dan bodoh saja yang lebih bangga wisata keluar negeri dan melupakan keindahan alam serta kuliner negeri sendiri.
Yah, whatever. Markima!
Kami tiba di lokasi JRL 2011 jam setengah lima sore, tepat saat Edane formasi baru separuh jalan memainkan lagu pertamanya.
Matahari sore bersinar terang. Angin berhembus lumayan kencang. Debu beterbangan diatas kerikil di depang Gudang Garam Inter Music Stage.
Eet, seperti biasa, tampil energik dengan sound gitar yang memukau. Berkali-kali dia berlari menyusuri panggung, menghampiri penonton. Dan Ervin, vokalis baru mereka, benar-benar luar biasa! Vokalnya sungguh aduhai dan bertenaga. Tepat seperti yang terdengar di album terbaru mereka.
Dua lagu favorit saya dari album terbaru Edane, Coming Down dan Jadi Beken, mereka mainkan. Seandainya satu lagi favorit saya, Tell Me Why yang berbau balada juga dibawakan, ah, betapa sempurnanya sore yang cerah itu!
Dan mendadak, semua sadar dari mana gaya lompat satu kaki Eet berasal, ketika mereka tanpa banyak bicara menggebrak dengan satu nomor milik AC/DC: Back in Black!
Perut kenyang dan Edane memuaskan. Saatnya cari tempat duduk dan menikmati secangkir teh panas.
Akhirnya saya menikmati teh susu panas di Radical Stage yang gelap sembari menunggu penampilan Step Forward, band metal yang didirikan oleh Ricky, gitaris Seringai.
Ketika akhirnya Step Forward naik keatas panggung, sungguh saya terkejut setengah mati! Vokalisnya, yang berteriak seperti kesetanan untuk satu jam kedepan itu, ternyata seorang perempuan!
Musik jenis ini, sejak dulu, memang bukan untuk saya. Namun saya mengamini 100% pernyataan sang vokalis yang dilontarkan di sela-sela lagu, yang kira-kira bunyinya seperti ini: “Perempuan majulah kedepan dan buat perubahan! Lagu ini untuk kalian!”
Ya, perempuan Indonesia, berhentilah memaklumi dan menerima perlakuan tidak adil hanya karena alasan agama ataupun politik yang semuanya diciptakan oleh budaya maskulin!
Good Charlotte beraksi di panggung utama tepat pukul 19:15. Ribuan fans mereka yang sejak sore sudah berkeliaran di kawasan JRL 2011 sontak merapat ke bibir panggung.
Dibanding fans 30 Seconds to Mars, fans Good Charlotte terlihat lebih muda. Mungkin SMP atau awal SMA. Dan lebih banyak prianya. Tak heran, mengingat Good Charlotte mengusung power punk yang meskipun tidak sebrutal nenek moyangnya, tetap mengandung unsur pemberontakan yang sangat dicintai remaja pria yang sedang galau mencari jati dirinya.
Seandainya saya baru menginjak usia remaja hari ini, bukan mustahil saya, seperti juga ribuan bocah ini, akan jatuh hati pada power punk, alih-alih grunge, hahaha!
Pengetahuan saya soal Good Charlotte lebih payah dibanding tentang 30 Seconds to Mars. Maka sesi ini saya jadikan sesi bersantai saja. Duduk manis di atas rumput jauh di belakang ribuan remaja yang histeris menyanyikan lagu favorit mereka bersama idolanya, sembari menikmati makan malam.
Benji, yang rupanya sangat melek budaya pop Indonesia dan kabarnya sudah punya sebuah rumah di Bali, memenuhi janjinya. Dia memainkan sepotong hits Smash di depan fans-nya. Ya, Smash YANG ITU! Dasar bocah gila!
Makan malam selesai, saya bersama Purnomo, Dhia, dan Boy beranjak ke BNI Dome Stage untuk melihat X-Three Project. Sebuah proyek musik rahasia yang belum diketahui bentuknya.
Proyek itu ternyata berwujud band metal dengan 3 orang gitaris yang dilengkapi satu tim musisi berbagai instrumen gesek dan satu kelompok anak jalanan yang memainkan biola dan kaleng/tong bekas! Hebatnya, biola itu ternyata hasil kerajinan tangan mereka sendiri!
Mereka menampilkan aransemen instrumental yang lumayan menarik dari A Secret Place milik Megadeth.
Setelah Good Charlotte di panggung utama, akan ada Frente di Simpati Stage, tepat di sebelahnya. Namun diantara keduanya terselip satu band yang saya suka dan belakangan memiliki nilai penting bagi komunitas grunge lokal: Cupumanik.
Maka saya bergeser ke Tebs Stage dan bergabung bersama ratusan penonton lainnya dalam rintik hujan yang mulai jatuh.
Dua lagu pertama tidak terlalu meyakinkan. Sound gitar Esqi terdengar lemah dan sepi. Sementara Che, yang selama satu minggu terakhir manggung setiap hari, separuh tercekat dan kehilangan tenaga.
Barulah ketika mereka memainkan Grunge Harga Mati, semua terdengar benar dan penuh energi.
Inilah lagu yang menorehkan prestasi tingkat internasional dan menjadi tiket ke event PlanetRox di Kanada, akhir September 2011 nanti, yang ironisnya juga lagu yang telah menjadikan mereka bahan olok-olok. Dua sisi berlawanan yang selalu muncul dan menjadi penanda dari... kesuksesan!
Energi Grunge Harga Mati merobek langit JRL 2011 yang semakin gelap dan dingin. Diantara butir gerimis dan hembus angin kencang, dihadapan ratusan penonton yang tidak memedulikan ancaman hujan, Cupumanik tancap gas dengan Luka Bernegara, lagu baru yang rencananya akan dirilis dalam bentuk digital dan dibagi secara gratis, dalam pesta peluncuran bersama Rolling Stone Indonesia.
Dan grunge di JRL 2011 resmi ditutup oleh satu nomor megah dari album pertama mereka, Maha Rencana.
Rintik hujan semakin deras dan saya, bersama Dhia serta Kuda, berlari ke Simpati Stage. Masih tersisa Frente disana, dengan ribuan fans-nya yang berdiri khusyuk di depan panggung, membiarkan hujan membasahi kepala.
Angie Hart, yang malam itu mengenakan gaun batik dan fasih mengucapkan “Apa kabar?” dan “Terima kasih”, memimpin koor massal paling romantis di JRL 2011.
“I just don’t know what to say... Why can’t we be ourselves like we were yesterday?”
Dibawah siraman hujan, dimalam yang penuh gairah, ribuan fans Frente mendapatkan apa yang mereka cari. Disini. Di tanah rock n’ roll negeri sendiri.
Rasanya seperti surga turun ke bumi. Seperti kisah petualangan kanak-kanak yang berakhir bahagia. Seperti air. Seperti api. Seperti, cinta...
[caption id="attachment_121851" align="aligncenter" width="300" caption="Helloween at Java Rockingland 2011 - foto by Purnomo"]
Ribuan fans metal berbaris dibawah cahaya, mengacungkan tangan ke udara dan meneriakkan lagu-lagu, seolah mereka semua akan berangkat ke medan perang. Wajah mereka tengadah, mata lekat menatap ruang kosong di depannya, menanti hadirnya dewa dari belahan utara dunia...
Ketika sang dewa akhirnya benar-benar menampakkan diri, mereka datang dalam ledakan cahaya dan suara yang terdengar sampai ke langit. Dan, seperti layaknya dewa yang penuh kuasa, mereka memastikan kemurnian para pengikutnya dengan meneriakkan pertanyaan: “Are You Metal?”
Maka gegap gempitalah Gudang Garam Inter Music Stage malam itu. Bukan oleh jeritan cewek unyu yang gemar menebar pesona paha. Bukan juga oleh teriakan remaja pria tanggung yang sedang galau mencari warna jiwanya. Namun oleh gemuruh suara dari ribuan pengirim salam tiga jari yang berdiri menantang hujan yang tumpah dari langit.
Helloween, selamat datang, kami sepenuhnya metaaalll!!!
Dari detik itu, Helloween menderu seperti badai yang paling ganas. Pameran vokal yang melengking dan penuh tenaga, akurasi dan kecepatan jari duo gitaris, serta daya tahan yang luar biasa dalam sesi solo drum jadi menu andalan.
Setelah medley 3 lagu yang terdengar sangat melelahkan, tibalah sesi favorit saya dari band metal asal Jerman ini.
Dalam Future World, Andy dengan luar biasa memukau mampu menyisipkan cerita mengenai kebodohan drummer-nya yang mencampur whiskey Skotlandia berusia 21 tahun yang dibelinya dengan harga sangat mahal dengan... Coca Cola!
Cerita lucu, yang tidak dipahami oleh kebanyakan cewek tentu saja, yang kemudian dilanjutkan dengan padua suara bergantian antara dirinya dan penonton, meneriakkan: “Future wooorld!!!” tak kurang dari 10 kali.
Paduan suara serupa terulang di nomor pamungkas mereka, I Want Out.
Tanpa kembang api, seperti ketika Stryper manggung di hari terakhir JRL 2010 lalu, namun dengan jumlah audiens nyaris dua kali lipatnya, Helloween menutup semua pertunjukan panggung utama JRL 2011 ini dengan sangat menyenangkan.
Helloween, bagi saya yang bukan anak metal, adalah pameran ledakan suara, tata cahaya, dan showmanship yang jauh dari nuansa destruktif ataupun depresif. Sebuah pesan dalam musik yang sangat positif.
Selanjutnya, penonton terbagi menjadi tiga kelompok besar. Satu kelompok berjalan pulang, satu ke Simpati Stage untuk menyaksikan legenda dari Inggris, Happy Mondays, dan yang satunya lagi ke Tebs Stage untuk melihat penampilan Gugun Blues Shelter (GBS). Bersama Dani, saya ikut dalam kelompok terakhir ini.
Kami enak-enakan duduk di belakang ribuan fans yang memadati Tebs Stage. Sebentar lagi tengah malam dan besok adalah hari Senin. Bukan hari favorit bagi lebih dari separuh penduduk bumi.
Saya sudah cukup sering menyaksikan penampilan GBS, termasuk sesi 3 jam penuh di Bentara Budaya Jakarta dan sesi cerita dibalik band mereka di @America, sehingga malam itu pusat perhatian saya bukanlah musiknya, melainkan fans mereka.
Sebagian besar fans GBS malam itu berusia muda. Baik pria maupun wanitanya. Mungkin usia akhir SMA dan tingkat awal perguruan tinggi. Dan mereka sepertinya berasal dari kelompok yang terpelajar.
Mendadak saya tersadar. Profil seperti itu, bukan saja menjanjikan masa depan finansial yang cerah bagi GBS, namun juga bagi rock negeri ini. Fans musik seperti merekalah yang nantinya akan menjadi tulang punggung pergerakan rock Indonesia. Perjuangan membebaskan diri dari penjajahan polusi bunyi yang selama ini sudah demikian berkarat di televisi.
Dalam hembusan angin malam yang masih menyisakan butiran hujan, JRL 2011 ditutup oleh sayatan gitar Gugun yang menyuarakan semangat rock yang pantang menyerah. Rock yang gagah berani menentukan masa depannya sendiri di negeri ini...
Saudara-saudaraku dalam rock n’ roll, sampai jumpa lagi di JRL 2012!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H