[caption id="attachment_105470" align="aligncenter" width="300" caption="Poster konser Iron Maiden"][/caption] Jika Led Zeppelin punya lebih dari satu riff gitar terbaik di dunia, maka Iron Maiden punya salah satu melodi intro paling sakti. Itu adalah: “Oh... Oh... Oh... Oh...” dalam lagu Fear of The Dark, hahaha! Tentu saja itu bukan bagian resmi dari rekaman asli lagunya. Itu adalah paduan suara para trooper setiap kali lagu tersebut mengudara. Sebuah paduan suara sederhana yang luar biasa menyenangkan. Berdiri di Pantai Karnaval Ancol bersama belasan ribu orang lainnya, tadi malam saya merasakan sendiri kesaktian intro itu. Diletakkan tetap pada urutan ke-12, sebagaimana setlist Moskow dan Singapura, dua kota yang mereka kunjungi sebelum Jakarta, Fear of The Dark benar-benar melempar kami semua ke angkasa, ke final frontier musik heavy metal yang sempurna! Saya sih, jujur saja, bukan penggemar Iron Maiden. Sama sekali tidak minat untuk mengaku-ngaku sebagai trooper. Maka dari itu, semalam saya datang ke Ancol tidak mengenakan kaos Iron Maiden, melainkan band pujaan saya sampai mati: Pearl Jam. Kaos Alpukat unyu-unyu warna biru diantara belasan ribu kaos hitam bergambar monster ruang angkasa, hahaha! Dari 16 nomor yang menghantam semalam, tidak satupun yang bisa saya nyanyikan. Prestasi paling membanggakan saya hanyalah berteriak setengah tercekat di chours lagu pemenang Grammy tahun ini, El Dorado yang mencekik. Dan saya yakin sekali bukan hanya saya yang seperti itu. Bahkan Steve Harris, dalam wawancaranya bersama Tempo beberapa hari lalu, menduga bahwa di Indonesia, Iron Maiden akan menghadapi banyak penggemar setia yang baru pertama kali menonton konser mereka. Juga audiens yang tidak sepenuhnya mengenal karya-karya mereka. Orang-orang seperti saya. Konser dibuka oleh Rise to Remain, band metal yang digawangi oleh anak dari Bruce Dickinson. Bukan band terbaik di dunia, jika boleh dibilang begitu. Jam 9 malam. Angin laut yang sedikit lembab bertiup pelan. Membawa udara gerah kedalam hati belasan ribu orang yang mulai resah. Menunggu konser dimulai sejak sore, selama kurang lebih 3 jam tanpa hiburan, bukanlah kegiatan menyenangkan bagi orang Jakarta yang terbiasa tergesa-gesa. Bagian awal dari The Final Frontier mulai mengalun, tanpa satu pun personil Iron Maiden menampakkan batang hidung di panggung. Teriakan serta tepuk tangan bergemuruh dan dimulailah semua yang akan jadi kenangan indah malam itu... Di langit, bulan penuh, namun tidak terang. Disekelilingnya terbentuk halo, lingkaran cahaya seperti dalam gambaran kepala orang suci yang sudah mati. Dan benarlah Bruce, ketika di sela-sela setlist-nya yang penuh energi malam itu berkata: “Hanya ada aku, kalian, dan malam...” Malam itu memang sepenuhnya milik Iron Maiden dan para trooper. Sumpah mati, saya iri! Tidak perlu seorang jenius musik untuk mengatakan bahwa selama nyaris dua jam penuh itu heavy metal menghantam Jakarta dalam kekuatan terbaiknya. Vokal yang tidak mungkin, tiga gitaris yang bergantian memainkan melodi tanpa cela, satu diantaranya bahkan memainkannya sambil berakrobat, basis yang tak pernah berhenti berjalan dan bernyanyi, serta pukulan drum yang menderu seperti kereta api. Dan, jika itu semua belum cukup mempesona, mereka melakukannya di usia yang hampir mencapai kepala enam! Festival A, yang diisi oleh ribuan trooper sejati, tak pernah berhenti bergemuruh. Terlebih ketika Ed, sosok monster setinggi 3 meter muncul di panggung, berjalan menggoda personil Iron Maiden, dan memainkan sebuah gitar putih yang hanya seukuran telapak tangannya. Di sana, di ground zero, tangan terus terangkat ke udara, menerbangkan salam tiga jari yang mendunia. Teriakan terus bergema, menyambut setiap bait yang disemburkan Bruce dari atas panggung. Dari atas ampli, dari drumset, dan dari tumpukan container yang membentuk struktur pesawat antariksa bernama Satellite 15, sembari berlari dan lompat kesana kemari. Saya, bersama Kuda, Davro, Hilman, dan Topik, setelah menyelusup dengan cukup nekat dan keren, akhirnya nyaman berdiri di pagar pembatas Festival A dan B, di sisi kiri, menghadap panggung. Kami toh belinya tiket Festival C, hahaha Malam itu semua gila! Semua gembira! Iron Maiden, tak peduli seberapa payahnya saya mengenal mereka, adalah legenda heavy metal. Sesungguhnya legenda. Yang menyapu kota dengan gemuruh musiknya. Yang meruntuhkan hati dengan pesona penampilannya. Yang tanpa ampun menaklukkan dunia, dan tetap berada di puncaknya selama tiga dekade tanpa henti. Ketika Running Free, single pertama mereka yang dirilis Februari 1980 dimainkan, tahulah kami semua bahwa pesta metal di tepi pantai Jakarta ini sudah usai. Ketika Bruce memandu belasan ribu pecintanya untuk berkali-kali meneriakkan: “I’m running free... Yeah!”, selesailah semua. Jika saat itu ada trooper yang menangis sesenggukan, dalam balutan kaos hitam bergambar monster yang sangar, saya bisa terima. Penantian mereka yang demikian lama sudah selesai. Pahlawan masa remaja mereka sudah datang dan menyapa. Mimpi besar itu sudah lunas terbayar! Iron Maiden, sungguh saya beruntung bisa hadir di salah satu konser dahsyat kalian. Dan saya, ketika berjalan pulang, kebetulan berjumpa dengan Tommy Pratama. Dialah orang yang paling bertanggung jawab atas perhelatan ini. Jika mimpi trooper negeri ini sudah lunas, maka mimpi saya masih jauh dari kenyataan. Karenanya saya menghampiri Tommy Pratama dan berkata: “Terima kasih atas Iron Maiden-nya Pak. Berikutnya, Pearl Jam ya!” Apapun konsernya, mimpinya tetap Pearl Jam, hahaha!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H