Mohon tunggu...
Eko Prabowo
Eko Prabowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

http://wustuk.com\r\n\r\nhttps://soundcloud.com/rakjat-ketjil-music

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Musik 2011: Bertemu Scott Weiland

1 Mei 2011   10:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:11 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_105474" align="aligncenter" width="300" caption="Sesi foto bersama Stone Temple Pilots"][/caption] Ketika sirine penanda datangnya tsunami menjerit di perfektur Iwate dan Miyagi, Jepang, Jumat siang minggu lalu, hati saya menjerit gembira membaca DM dari Adrie Subono. Isinya: “Mau meet n’ greet sama STP gak? SMS gua!” Ya maulah, Om! Bangeeettt!!! Memang rasanya kurang pantas, saya bersorak gembira saat ribuan orang Jepang meninggal tersapu ombak setinggi 10 meter. Tapi itulah hidup. Penderitaan dan kegembiraan selalu bersisian. Lagi pula, yang tidak dibenarkan adalah menyebabkan orang lain menderita atau tertawa diatas penderitaan orang lain kan? Maka jadilah saya semalam, Minggu, 13 Maret 2011, menanti di lokasi konser Stone Temple Pilots dengan degup jantung yang semakin malam semakin kencang. Berbeda dari konser-konser biasanya, dimana saya dan kawan-kawan dari PJId selalu jadi yang paling awal merangsek ke bibir panggung, semalam saya terpencil sendirian di belakang. Uring-uringan, menunggu dalam ketidakpastian. Ragu antara bertahan menanti datangnya panggilan meet n’ greet atau terjun ke depan panggung dan bergabung dengan kawan-kawan PJId yang sudah mulai jejingkrakan bersama The Flowers. Asal tahu saja, malam itu The Flowers menghadirkan basis rock legendaris negeri ini: Bongky! Tiga ribuan audiens sudah memadati lokasi konser dan The Flowers memainkan lagunya yang paling hebat sepanjang sejarah. Njet, yang bersama Boris sudah mati-matian membangun kembali The Flowers dari puing-puing kematian drumer dan gitarisnya dulu, berteriak lantang: “Tolong Bu Dokter, aku sudah gak tahaaaannnn!!!” Dan saya, pada saat lagu yang lekat dengan citra pecandu obat bius itu mengudara, dengan keren nyangkut di ticket box! Tapi semua kegelisahan itu, semua keruwetan pikiran itu, sirna ketika panggilan meet n’ greet akhirnya benar-benar datang. Semua kemudian berganti menjadi grogi setengah mati. Campuran antara harapan, mimpi, kegembiraan luar biasa, dan rasa tidak percaya yang menumpuk tak tertahankan. Bagaimana tidak? Tak ada angin tak ada hujan, malam itu saya mendapat kesempatan untuk bertatap muka, bersalaman, dan menyapa Si Melody Man, Scott Weiland! Tak kurang dari Ahmad Dhani, anaknya, Anji Drive, dan personil The Flowers yang berbaris rapi bersama saya, menunggu turunnya personil STP dari lantai dua bangunan kecil di belakang panggung. Selain itu juga ada rombongan kecil dari Djarum dan beberapa orang pemenang undian lainnya. Ahmad Dhani, yang sepertinya terbiasa jadi bos, setelah 15 menit menunggu di luar dan kemudian diminta berdiri dalam barisan, akhirnya tak tahan juga dan menyeletuk: “Wah, kayak diospek nih!” Yah, dibanding diospek oleh begundal-begundal dari Sekolah Pemerintahan yang setelah lulus jadi koruptor kelas kakap itu, jauh lebih keren diospek oleh Stone Temple Pilots kan? Briefing dari penanggung jawab STP dan Melanie Subono isinya singkat, jelas, dan meski sangat bisa dimengerti, sedikit mengecewakan. Tak boleh ada kamera, ponsel, pemberian hadiah, dan minta tanda tangan. Meet n’ greet malam ini benar-benar hanya diisi oleh tegur sapa dan foto bersama. Bagi saya, dan semua yang berdiri manis malam itu, tak masalah. Tapi rupanya bagi cewek manis yang hari itu kebetulan berulang tahun, aturan main itu tidak bisa diterima. Nantinya terbukti dia memaksakan keberuntungannya untuk mendapatkan rekaman ucapan selamat ulang tahun yang akhirnya hanya berbuah pandangan sinis nan meremehkan dari Scott Weiland, dan tentu saja semprotan setengah tidak percaya dari Melanie. Dean DeLeo, sang master gitar bertubuh jangkung dan berambut berantakan itu, adalah yang pertama turun. Berhenti sebentar di teras, dia memandangi kami semua, lalu menoleh ke penanggung jawab STP, seorang perempuan bule bertubuh subur, dan tersenyum. “Wow! We’ve got a lot of people here.” Kemudian dia menghampiri kami, menyapa dan menyalami kami satu per satu. Eko: “Thx for coming, Mr. DeLeo!” Dean DeLeo: “Hi! Thx for having us here.” Eko: *dalam hati* “Matiii...!!!” Robert DeLeo yang funky dan Eric Kertz yang selalu tertawa menyusul kemudian, menyapa kami satu per satu. Ketika saya mengulangi “Thx for coming...”, satu-satunya kalimat berbahasa Inggris yang bisa saya ingat, setelah ratusan jam kursus dengan biaya jutaan rupiah itu, Eric tertawa dan membalas, “Let’s have a great show tonite!” Semua sudah berkumpul di belakang panggung kecuali dia, si biang rusuh yang menyanyi seperti malaikat, Scott Weiland. Tak berapa lama, boots lancip berwarna biru gelap itu menuruni tangga. Pengawal pribadi mereka, yang tubuhnya sebesar gorila, bersiul-siul sepanjang perjalanan turun si bengal. Dan ketika Scott Weiland akhirnya muncul seutuhnya di teras, dengan topi hitam dan rokok yang sudah separuh terbakar terselip di bibir, berdiri miring dan memandangi kami satu per satu, seperti tuan rumah yang terganggu oleh kedatangan tamu tak diundang, siulan itu terasa sangat pas! Selamat datang di Jakarta, koboi gila! Seperti tiga personil STP sebelumnya, Scott Weiland juga menghampiri, menyalami, dan menyapa kami satu per satu. Kali ini, saya benar-benar tidak ingat apakah saya bernafas atau tidak. Yang saya ingat hanyalah saya membuka topi, menyalaminya erat-erat, dan mengulangi kalimat andalan tadi, dengan senyum lebar dan mata berbinar. Eko: “Thx for coming, Mr. Weiland!” Scott Weiland: *menghisap rokok di sudut bibirnya sembari menatap aneh dari balik bayang-bayang topi, bergumam tidak jelas* “Hmmm...” Eko: *dalam hati* “Mati beneran! Matiii...!!!” Dia berjalan terus ke sisi kiri, menyalami Ahmad Dhani, Anji Drive, dan yang lainnya. Sementara saya terdiam, memandangi saja tangan ini, yang kini mendadak naik derajat. Tangan saya ini, yang biasanya hanya digunakan untuk ngupil dan menyendok makanan, kini naik pamor dan hanya kalah satu kelas saja dari tangannya Reza Lubis, yang pernah bersalaman dengan Eddie Vedder. Salam-salaman dan basa basi usai, kita foto bersama. Bukan hal penting bagi saya. Berdiri disamping Eric Kertz dan tepat di belakang Scott Weiland yang berjongkok seperti pemain sepakbola, rasanya malam itu tak akan bisa menjadi lebih baik lagi bagi saya. Ternyata bisa! Sesaat setelah saya berlari kencang dari belakang panggung, memutar dari sisi kiri, menerobos gelombang audiens terakhir yang memasuki lokasi konser, Crackerman meledak! Kilatan lampu panggung menyambar dan tiga ribuan anggota generasi ‘90s yang merdeka jiwanya serentak bersorak. Saya terjun ke kerumunan dan membiarkan diri terseret dalam pesona bunyi yang menghentak, mengalun, membius, indah tiada tara. Malam itu, bersama Stone Temple Pilots dan generasi yang tersingkir, saya menjadi bagian dari sejarah, dan... Pecaaahhh!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun