[caption id="attachment_105383" align="aligncenter" width="300" caption="Dankie @Rolling Stone Indonesia - foto oleh Haikal"][/caption] Sebagian dari kita, sebagai komponen dalam komunitas musik lokal, pasti pernah menonton satu-dua pertunjukan dengan alasan memberi dukungan semata. Merogoh kocek dan merelakan waktu untuk menyuarakan musik yang ingin kita dengar. Memastikan agar tidak hanya suara-suara mesin industri yang dipaksakan ke kepala kita saja yang terdengar. Namun Navicula, bagi saya, bukanlah bagian dari logika itu. Saya tidak datang dan menongkrongi mereka menghantam panggung dengan dalih memberi dukungan. Saya tidak menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk tiket dan ongkos taksi dalam Java Rocking Land tahun lalu, meninggalkan Seringai yang sedang membakar massa, dan kemudian masuk ke Dome yang dingin seperti kulkas, dalam misi memberi dukungan. Tidak! Saya melakukannya karena memang Navicula, bagi saya, mampu meredakan dahaga jiwa akan suara-suara yang nyaman di kepala. Katakan saya berlebihan. Silahkan juga menuduh saya berlagak punya banyak uang untuk dibakar. Namun tolong, kabari saya apa isi kepala Anda setelah nanti berkesempatan menikmati Aku Bukan Mesin, Menghitung Mundur, atau Metropolutan, secara live... Dan alangkah menggetarkan jiwa ketika akhirnya Dankie, salah satu sosok dibalik pesona suara Navicula, menyatakan kesediaan untuk menyumbangkan sejurus dua jurus permainan gitarnya yang aduhai dalam “Pearl Jam Nite V: Do The GreenVolution!” yang akan diadakan di MU Cafe, Sarinah, 5 Juni 2010 yang akan datang. Jadilah ia kini menceburkan diri kedalam sebuah proyek kolaborasi tanpa bentuk bersama Perfect Ten, band khusus pengusung lagu-lagu Pearl Jam, yang megah berkibar selama setahun terakhir ini. Disana ia akan meramu sihirnya bersama salah satu gitaris terbaik yang kita miliki, yang kini telah menjadi bagian permanen dari Perfect Ten, yang (sayangnya) tergabung dalam organisasi terlarang Kadal United, Nito! Ribuan kilometer jarak yang membentang, jadual profesional yang luar biasa padat, dan kemungkinan perbedaan pemahaman musikal menjadi tantangan terbesar dari kolaborasi ini. Bagaimanapun, musik adalah soal hati. Dia tidak berhenti di tataran teknis dan kemampuan fisik belaka. Seperti yang dituturkan Dankie kepada saya, diantara tetes-tetes bir dingin pereda gerahnya udara Bali jam satu pagi tempo hari, musik adalah proses kreasi hati. Dalam penciptaannya dia menegasi semua batasan waktu, juga bentuk. Satu-satunya cahaya yang bisa dipercaya, agar bisa selamat menempuh gelapnya lika-liku proses kreasi itu, adalah suara hati. Dan kita semua, jamily Indonesia, baik yang tercebur dalam PJId maupun mengembara sebagai anjing hilang tanpa tempat berteduh, jelas punya hati yang besar. Demikian besarnya hingga kita semua masih mampu menegakkan kepala dalam perjalanan tanpa ujung ini. Dalam penantian melelahkan yang hanya akan usai ketika akhirnya sayatan gitar Mike McCready benar-benar mencabik langit Jakarta. Bahwa hanya jiwa yang pernah patah saja yang bisa memainkan blues, Dankie percaya penuh pada kebenaran itu. Bahwa hati yang tulus saja yang bisa bertahan dalam penantian kering kerontang ini, kita semua sudah membuktikannya. Maka Kawan, bawalah hati yang besar itu ke Istana Setan Merah, 5 Juni nanti. Kita semua membutuhkannya untuk menampung kegembiraan dan kenangan manis yang akan tercurah dari ujung jemari sang penyihir blues asal Bali, Dankie...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H