[caption id="attachment_105380" align="aligncenter" width="300" caption="Perangkap Tikus - ilustrasi oleh Davro"][/caption] Seno Gumira Ajidarma pernah menulis sebuah buku yang judulnya sangat menggugah semangat perlawanan: Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Ketika fakta ditutup-tutupi, kesaksian dan ide harus tetap hidup dalam bentuk metafora dan simbol-simbol. Dalam seni. Dalam kata-kata, gambar, maupun lagu. Dan disanalah Besok Bubar berdiri tegar. Ketika pemimpin bangsa ini lebih senang berpose daripada bertindak benar, ketika penjaga hukum malah memanfaatkan hukum untuk memperkaya diri, ketika dewan yang terhormat berkelakuan tidak lebih baik daripada anak TK ingusan, Besok Bubar menelurkan karyanya dan menawarkan alternatif penghibur hati di era kegelapan ini: Cuci Otak! Apa yang lebih baik dibanding rangkaian lirik berikut, untuk menggambarkan situasi kita saat ini: “Perangkap siap menangkap si tikus... tikus pun panik tak bisa berkutik... Satu per satu tikus pada mampus... Aku hanya ingin rumahku bersih...” Itu adalah impian kita semua. Hasrat kita yang terkubur dalam ketidakberdayaan. Untuk memberantas tikus sampai mampus. Sampai rumah kita bersih. Untuk hari esok yang lebih baik. Tema yang sama, dengan pendekatan lirik berbeda, kembali muncul di nomor Raksasa, sebuah kolaborasi dengan Robi Navicula. Amar, dibalik sosok jangkung dan rambutnya yang seperti pohon beringin, dibalik omong-kosongnya yang selalu diselingi kekehan a la Wiro Sableng ketika berdiri di panggung, ternyata memiliki kesadaran politik yang luar biasa mengagumkan. Lagu-lagunya, jika saya diijinkan memasukkannya dalam kotak klasifikasi, adalah perkawinan suara grunge yang berat dan berkecepatan tinggi dengan lirik sadar politik layaknya punk. Sama sekali bukan perkawinan yang jelek! Pertanyaan, gugatan, dan tuntutan pada tatanan sosial yang ada menjadi menu utama album ini. Kritik pada institusi keagamaan, dan orang-orang yang kerap memberi cap kebenaran pada diri sendiri, dimuntahkan dalam Pahlawan Bertopeng. Koruptor menjadi bintang dalam Perangkap Tikus, Raksasa, dan Busung Lapar. Sajian televisi yang seperti sampah jadi bahan caci maki di Tivi Butut dan Cuci Otak. Gugatan yang tak kalah keras juga muncul di nomor lainnya, seperti Penguasa, Politrick, dan Diskriminasi. Satu lagu yang saya kurang pahami, Bedtime Stories. Liriknya dalam bahasa Inggris sih! Pramoedya Ananta Toer, yang batal memperoleh nobel sastra karena disabot oleh negaranya sendiri, paham betul bagaimana caranya menyelipkan dan memelihara semangat perlawanan dalam prosa-prosa indah. Sayangnya, petinggi militer kala itu tak kalah canggih dalam mengendus karya sastra bermutu tinggi, dan membakarnya! Amar jelas beda kelas dibanding Pram. Yang satu menulis lirik yang tajam dan nyaris tanpa kiasan, satunya lagi menulis prosa yang lugas, indah, namun sekaligus penuh gugatan dan kritik pedas. Yang satu tukang minum bir, satunya lagi minum anggur menjelang tidur malam. Yang pertama ikon lokal, yang kedua adalah warisan budaya internasional. Bagaimanapun, keduanya berpihak pada yang papa dan menawarkan hal yang sama: potret manusia menghadapi sebuah jaman. Sebuah gambaran yang merupakan media perenungan sekaligus tempat untuk melarikan diri sejenak dari kehidupan yang semakin tidak menentu. Sebuah ajakan untuk Cuci Otak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H