Dengan keren, Sari Wulandari (dosen Desain Komuniasi Visual di Binus University) menjawab pertanyaan itu untuk saya. Tema, jelasnya. Itulah yang sesungguhnya sudah membumikan grunge di Indonesia, baik kita sadari atau tidak. Che, Robi, dan barangkali banyak musisi lokal lainnya, melalui tema-tema lagu yang mereka angkat, tidak saja memberontak pada narasi miskin yang sudah digariskan para pemilik modal dan penguasa industri musik nasional, sekaligus telah membumikan grunge menjadi sangat Indonesia.
Melalui empatinya, Che menulis lagu grunge berisi tema-tema yang memang hanya ada di Indonesia. Ambil contoh "Siklus Waktu". Lagu itu ditulis sebagai respon terhadap petaka terbakarnya dua bus sekolah di Situbondo dan tsunami di Aceh. "Siklus Waktu" tidak akan pernah bisa ditulis oleh dedenkot grunge yang hidup di Seattle.
Dalam kesempatan lain, Robi merasa sangat khawatir terhadap industri sawit di Indonesia yang demikian agresif dan sudah merusak ekosistem hutan. Dari kekhawatiran seperti itulah dia kemudian menulis lagu berjudul "Orangutan". Dia menggunakan orangutan sebagai simbol dalam narasinya tentang alam yang dirusak oleh industri sawit. Sekali lagi, "Orangutan" tidak mungkin dilahirkan oleh musisi grunge yang tinggal di Seattle
Melalui pemberontakan narasi, melalui tema-tema lagu, Che dan Robi membumikan grunge di Indonesia. Musisi dan penikmat grunge tanah air tidak lagi perlu terbelenggu dengan grunge rasa Amerika. Kita sah-sah saja menyanyikan lagu grunge bertemakan penggusuran pemukiman pinggir kali. Kita juga boleh saja, seperti yang diungkapkan Pandu (reporter LiniKini) dalam bedah buku petang itu, menjadi anak grunge tanpa keharusan untuk selalu mengenakan flanel dan tampil kucel. Grunge di Indonesia, disadari atau tidak, sesungguhnya sudah sangat membumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H