[caption id="attachment_181549" align="aligncenter" width="300" caption="Poster film Prometheus"][/caption] “Prometheus (2012)”, film fiksi ilmiah garapan Ridley Scott ini banyak disebut-sebut sebagai prekuel dari “Alien (1979)” garapan sutradara yang sama. Bukan! Ini adalah sesuatu yang lain. Setidaknya, itulah kesimpulan saya yang sedikit banyak didukung oleh pernyataan sang sutradara dan Damon Lindelof (penulis skenario kedua, setelah Jon Sphaits) di berbagai kesempatan.
Film ini tidak menyuguhkan rentetan aksi seru kejar-kejaran manusia melawan makhluk asing yang haus darah. Tidak juga parade senjata berat penghancur raksasa dari luar angkasa yang gelap. Film ini, dibanding dengan pendahulunya, nyaris tidak mencekam sama sekali.
Namun, tentu saja suguhan visual effect-nya luar biasa mempesona, jika tidak boleh dibilang sempurna. Bahkan dibanding “Avatar (2009)” karya James Cameron yang fenomenal itu, “Prometheus (2012)” boleh dibilang punya kualitas setara!
Tampilan 3D-nya pun sangat mumpuni, mengingat gambar dalam film ini diambil menggunakan kamera 3D yang juga digunakan James Cameron untuk merekam filmnya. So, menonton film ini dalam format 3D sangatlah direkomendasikan.
Jika pernah membaca buku “Contact (1985)” tulisan Carl Sagan atau “Sphere (1987) milik Michael Crichton”, maka “Prometheus (2012)” akan mudah sekali kita pahami.
Film berdurasi 124 menit ini mengemukakan pertanyaan-pertanyaan besar dalam kehidupan manusia melalui visual effect-nya yang benar-benar memanjakan mata. “Dari mana kita berasal?”, “Apa misi kita di dunia?”, dan “Kemana kita pergi setelah ini?” adalah beberapa pertanyaan itu.
Menggugah. Membuat gelisah. Bagi sebagian orang, barangkali akan membuat marah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H