[caption id="attachment_121338" align="aligncenter" width="300" caption="Ed Kowalcyzk at JRL 2011 - foto oleh Ed Kowalcyzk"][/caption] Berdasarkan pengalaman dari dua perhelatan Java Rockingland (JRL) sebelumnya, hari kedua, yang jatuh pada hari Sabtu, adalah yang paling ramai. Dan sejarah, tak peduli sekonyol apapun, seringkali memang berulang...
Atas nama kenangan dan keasyikan memalukan saat ugal-ugalan di karaoke, saya, Dhia, Dani, Kuda, Harris, Boy, dan Novi mengunjungi Simpati Stage untuk menyaksikan... Power Slaves! Hahaha, benar! Power Slaves YANG ITU!
Namun kami semua akhirnya mesti kecewa karena Power Slaves tampil tanpa drummer-nya! Ya, sore itu, sebagian setlist mereka mainkan tanpa drummer yang rupanya telat datang entah karena alasan apa.
Tak sampai selesai, sebagian dari kami bergeser ke Tebs Stage. Disana tengah bersiap band bentukan baru yang cita-citanya adalah membuat lagu-lagu rock (dengan nuansa grunge, tentu saja) kembali masuk tivi: Konspirasi!
Tak banyak bicara, mereka menggebrak dengan satu nomor instrumental pembuka yang kemudian dilanjutkan dengan materi yang akan mengisi album pertama mereka, yang kabarnya akan diluncurkan Oktober 2011 yang akan datang.
Lelaki, Melawan Rotasi, dan I Want It All adalah beberapa nomor yang saya kenal. Dua yang terakhir adalah favorit saya, yang kebetulan juga kabarnya akan menjadi single pertama dan kedua dari album yang akan segera rilis tersebut.
Bukan nomor paling keras yang pernah saya dengar, namun dipastikan dapat kembali menaikkan harga diri rock yang sudah demikian terpuruk di televisi nasional negeri ini.
Seandainya sore itu sound bas Romy dan gitar Edwin dapat dibuat lebih lebar dan bertenaga, bisa jadi mereka akan terdengar seperti Alice in Chains...
Kelar Konspirasi, saya berjalan menyeberangi lapangan menuju Propaganda Stage untuk melihat Sarasvati. Sungguh saya tidak tahu apa-apa tentang sosok musisi yang satu ini.
Dalam perjalanan kesana, saya melewati Jump Stage yang akan menjadi tempat manggungnya Kelelawar Malam sebentar lagi. Rupanya citra mereka sebagai band horror bukan isapan jempol belaka. Ketika melintasi panggung itu, yang tercium adalah santernya bau menyan!
Dan sungguh celaka, horror rupanya juga adalah tema Sarasvati!
Satu nomor terakhir dari perempuan bergaun putih ini yang sempat saya nikmati adalah sebuah cerita/lagu tentang anak bernama Peter. Tentang misteri kematian. Tentang rasa ingin tahu manusia pada dunia setelah kehidupan. Sesi yang dipuncaki oleh hadirnya sesosok hantu perempuan bule yang katanya adalah ibu dari Peter, gentayangan diantara para penonton!
Aroma menyan milik Kelelawar Malam, sosok hantu perempuan bule dari Sarasvati, dan temaram magrib di tepi pantai sukses membuat saya kehilangan selera makan.
Namun semua kengerian itu berganti dengan rasa gembira ketika panggung utama dikuasai oleh God Bless yang mempesona.
Seperti Pas Band di hari pertama, God Bless menampilkan banyak kolaborasi. Diantaranya adalah dengan Jalu si ahli perkusi, paduan suara Aning Katamsi, dan grup tari Bali. Bedanya, kolaborasi God Bless berjalan sagat mulus tanpa cela!
Beberapa lagu dari album baru mereka, seperti NATO, dibawakan. Disusul kemudian dengan nomor-nomor lama dalam aransemen progresif yang rumit.
Saya penggemar grunge yang pada dasarnya adalah musik rock eksplosif nan sederhana. Jadi saya tidak mungkin menyukai aransemen progresif yang njlimet dan bertele-tele. Namun di tangan God Bless malam itu, progresif terdengar masuk akal dan perlu, meski tetap saja, belum terdengar enak, hahaha!
Puncak dari segalanya adalah sesi akustik yang menghadirkan Syair Kehidupan dan Rumah Kita. Dua lagu kelas dewa ini sukses melempar kami semua, ribuan fans rock Indonesia, ke langit suka cita. Luar biasa!
Janganlah juga dilupakan betapa megahnya Semut Hitam serta Panggung Sandiwara, yang membuat beberapa bule di sebelah saya terbengong-bengong. Haha, baru tahu mereka kalau rock di negeri ini bukan isapan jempol belaka!
Setelah kembali mendarat di bumi, saya bersama beberapa teman melintasi arena, jauh kearah pintu masuk. Sasaran kami adalah Gaspol yang dijadualkan manggung di Prambors Stage. Gaspol adalah band asal Bandung yang kabarnya akan diundang dalam perhelatan Pearl Jam Nite VI yang akan diselenggarakan di Bandung, 8 Oktober 2011 yang akan datang.
Namun sungguh sayang, setibanya disana, kami disambut panggung kosong. Gaspol sudah menyelesaikan seluruh setlisnya!
Terima kasih kepada God Bless, selera makan saya sudah kembali. Namun waktu demikian sempit sehingga saya harus mengabaikan sejenak rasa lapar yang menggigit lambung demi sebuah posisi strategis di depan Gudang Garam Inter Music Stage. Untuk siapa lagi kalau bukan si plontos Ed Kowalcyzk!
Membuka setlist-nya dengan All Over You, mantan front man Live ini langsung menghentak.
Sejujurnya, tidak ada hal spesial dari musik yang dibawakan oleh Ed dan band pendukungnya. Adalah pembawaannya diatas panggung yang menjadi daya tarik tersendiri. Energik, komunikatif, dan penuh semangat positif.
Terlihat jelas bahwa Ed sangat menikmati konsernya di JRL 2011 ini. Saking senangnya, beberapa saat setelah selesai manggung, Ed meng-upload foto dengan latar belakang sekitar 10.000 fans yang mengacungkan tangan ke angkasa JRL 2011, di halaman Facebook-nya.
Selling The Drama, The Dolphin’s Cry, dan I Alone menjadi koor masal yang sangat menyenangkan. Kami melompat, mengacungkan tangan, dan mengosongkan paru-paru bersama Ed yang kerap menghampiri penonton di tepian panggung.
Sebagian kecil penonton yang rupanya penggemar The Cranberries yang tidak tahu-menahu soal Live maupun Ed, terjepit dan terpaksa mendengarkan teriakan kami sepanjang satu jam penuh. Sungguh malang nasib mereka.
Dan rasanya tak ada encore yang lebih hebat dibanding Lightning Crashes!
Tak ada momen yang lebih menggetarkan jiwa, ketika ribuan generasi yang terbuang, generasi X, bersatu menyanyikan anthem masa remajanya, dalam paduan suara brutal yang tergambar penuh dalam penggalan lirik lagu: “... Like a rolling thunder chasing te wind... Forces pulling from the center of the earth again... I can feel it...”
Maka bergulunglah kami semua seperti halilintar, mengejar kenangan masa remaja yang telah hilang. Kenangan manis ketika musik adalah hal terpenting dalam hidup. Ketika musik adalah jawaban paling sederhana, dan paling benar, dari semua omong kosong di dunia...
[caption id="attachment_121339" align="aligncenter" width="300" caption="BIP at JRL 2011 - foto oleh Rendra Hernawan"]
Sesi berikutnya adalah BIP di BNI Dome Stage.
Saya tidak menikmati BIP sampai tuntas karena jadual mereka bertabrakan dengan The Cranberries. Dan inilah penyesalan terbesar saya di JRL 2011 ini!
Fenomenal, Korslet, Mane Mane Bole, serta Pelangi dan Matahari adalah empat nomor yang sempat saya nikmati. Empat nomor yang luar biasa memukau!
BIP menampilkan rock n’ roll dalam bentuk terbaiknya. Tak ada basa-basi dan rayuan gombal. Tak perlu tata cahaya berlebihan. Tak juga sound yang dibesar-besarkan. Semua mengalir harmonis dan mempesona.
Menikmati permainan gitar Pay, lentiknya jemari Indra menyapa keyboard, atau seksinya vokal Ipang, BIP malam itu adalah satu yang terbaik, jika bukan memang yang terbaik dari semuanya.
Musik mereka rumit, namun disaat bersamaan terasa sederhana. Permainan mereka semua berteknik dewa, namun tidak terlihat pongah dan mengada-ada.
BIP, jika boleh mencuri slogan majalah legendaris itu, adalah rock n’ roll yang enak dan perlu.
Keluar dari BNI Dome Stage, saya mendapati arena panggung utama sudah seperti pasar malam!
Belasan ribu orang menyemut. Mereka semua bernyanyi bersama The Cranberries yang sudah memulai setlistnya.
Bagi saya, The Cranberries tidak memiliki makna khusus. Mereka adalah satu dari sekian band besar yang punya banyak hits. Lagu-lagu mereka bagus dan enak dinyanyikan. Itu saja. Tidak ada ikatan emosional sama sekali.
Audiens malam ini jelas melampaui jumlah audiens JRL tahun lalu, ketika Stereophonics menjadi headliner di Sabtu malam. Namun tetap masih kalah banyak dibanding audiens yang datang di JRL 2009, ketika Mr. Big menjadi menu utama di hari kedua.
Berbeda dengan 30 Seconds to Mars, The Cranberries butuh satu jam penuh dan Salvation untuk menggetarkan bumi Java Rockingland. Setelah itu, terlebih setelah Zombie membahana dan Dolores mengenakan mahkota bulu burung ala orang Indian Amerika, barulah mereka benar-benar menancapkan pesonanya di festival rock terbesar se-Asia Tenggara ini.
Dan semua ditutup dengan teramat manis, ketika encore menghadirkan Promises dan Dreams.
Seperti jus berry dingin yang segar, The Cranberries meninggalkan senyum manisnya di hati kami semua, para fans rock Indonesia yang bermandi peluh sejak kemarin dan sudah mulai lelah.
Pure Saturday di Jump Stage, Power Metal di Simpati Stage, maupun Burger Kill di Propaganda Stage tak lagi penting bagi saya. Ed Kowalcyzk dan The Cranberries sudah sukses bukan kepalang membawa kami semua pada kenangan indah ‘90an. Kenangan akan masa remaja yang tak kan pernah kembali...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H