KPU (Komisi Pemilihan Umum) menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia berdasarkan Undang – undang No. 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum yang berlaku sampai saat ini. Di dalam UU tersebut dimuat hal – hal mulai dari asas penyelenggara pemilu,peraturan – peraturan mengenai KPU itu sendiri (mulai dari tingkat lokal sampai tingkat nasional) dan juga hal – hal lainnya yang bersangkutan dengan penyelenggara pemilu juga pemilu itu di Indonesia.
Disini saya akan memberikan penilaian terhadap UU No. 22 Tahun 2007 tersebut berdasarkan kriteria yang terdapat di dalam artikel yang berjudul “Wha Makes Elections Free and Fair ?” karya Jorgen Elklit dan Palle Svensson. Artikel tersebut memuat beberapa poin penilaian terhadap pemilu yang dikategorikan sebagai pemilu yang “Free and Fair” tersebut. Aspek pertama yang diperhatikan adalah kenetralan penyelenggara pemilu, yang termuat adanya dalam UU No. 22 Tahun 2007 tersebut, di dalam UU tersebut secara jelas disebutkan bahwa KPU merupakan sebuah komisi yang bebas dari gangguan pihak manapun dan dalam menjalankan tugasnya juga diatur mengenai prinsip netral itu sendiri, seperti bisa dilihat pada BAB III bagian ketigayang mengatur tentang tugas, wewenang, dan kewajiban KPU, KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota. Dalam BAB III tersebut terdapat ayat – ayat yang menyebutkan bahwa KPU harus memperlakukan setiap peserta pemilu dengan perlakuan yang sama. Kemudian diatur juga dalam UU tersebut mengenai hal – hal menyangkut perekrutan anggota KPU (syarat – syarat, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian) yang menurut saya salah satu point persyaratannya (usia calon anggota KPU) tidak mencerminkan sikap kebebasan karena membatasi hanya orang – orang yang telah berusia 30 tahun keatas saja yang sudah dapat mencalonkan diri menjadi anggota KPU. UU tersebut secara garis besar sudah memuat segala bentuk peraturan yang menjadi dasar untuk bekerjanya Komisi Pemilihan Umum, sampai pada peraturan mengenai anggaran untuk KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dan peraturan – peraturan lainnya mengenai teknis di dalam penyelenggaraan pemilu.
Kekurangan yang terdapat di dalam UU No. 22 Tahun 2007 tersebut adalah masih terlalu banyaknya peraturan – peraturan yang menyangkut hal – hal teknis penyelenggaraan pemilu sehingga melupakan aspek penting lainnya, semisal aspek untuk perlindungan terhadap para peserta pemilu (independent ataupun jalur partai) terhadap ancaman politik dan ancaman – ancaman lainnya. Kemudian juga belum diatur secara banyak hal – hal yang menyangkut masa kampanye, seharusnya jikapun ingindiatur maka akan lebih efektif jika peraturan yang dibuat nantinya bukanlah sebatas larangan berkampanye pada hari – hari tertentu dan pada jangka waktu tertentu, tetapi lebih baik diatur mengenai larangan – larangan yang harus dipatuhi saat peserta pemilu berkampanye. Jadi seharusnya masalah waktu tidak menjadi pusat perhatian, tetapi seharusnya lebih memusatkan kepada aspek larangan riil nya. Kemudian juga masih terlalu luasnya cakupan di dalam UU tersebut yang mengatur tentang pengarahan massa untuk dapat datang ke TPS pada saat hari Pemilu berlangsung. Seharusnya diatur dalam UU tersebut perihal tata cara pengawalan masyarakat untuk sampai ke TPS terdekat sehingga jumlah pemilih akan meninngkat dan dengan adanya pengawalan yang sungguh – sungguh dari penyelenggara maka potensi untuk terjadinya praktik “money politic” oleh peserta pemilu menjadi dapat dikurangi.Satu lagi yang dilupakan dari UU yang mengatur penyelenggaraan pemilu tersebut adalah aspek organisasi sosial masyarakat (NGO) yang di dalam UU tersebut tidak disebutkan bagaimana seharusnya penyelenggara pemilu membuka diri untuk partisipasi NGO di dalam membantu dan mengawal terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil.
Dari hasil pengamatan terhadap UU No. 22 tahun 2007 tersebut dan dengan menggunakan kriteria – kriteria yang telah dimuat dalam artikel karya Jorgen Elklit dan Palle Svensson maka dapat disimpulkan bahwa sampai dengan saat ini undang – undang yang mengatur penyelenggara pemilu di Indonesia masih perlu direvisi. Di satu sisi UU yang ada saat ini sudah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan penyelenggara pemilu beserta perekrutan dan sumber dananya, tetapi UU tersebut belum mengatur akses bagaimana caranya agar masyarakat ataupun NGO dapat ikut mengawal dan membantu proses pemilu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H