Mohon tunggu...
Wuri Prima Kusumastuti
Wuri Prima Kusumastuti Mohon Tunggu... Guru Bahasa indonesia -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ojo Dumeh Mundak Menggeh-menggeh

5 Januari 2016   03:09 Diperbarui: 5 Januari 2016   03:09 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Artikel berjudul aneh tak jelas dan njelehi utamanya bagi pembaca non Jawa ini memang tidak lebih utama dibaca dibandingkan dengan membaca kitab suci atau buku pelajaran. La wong yang nulis saja perawan galauan yang masih suka galau gegara masih jomblo atau kecapekan baca artikel-artikel buat pelengkap makalahnya. Jadi ya kalau masih mau lanjut baca, saya tak yo legowo ngartiin dulu maksud judul saya. Ojo dumeh itu adalah peribahasa Jawa yang artinya jangan sombong. Ini adalah pesan yang selalu saya dengar dari orang tua saya semenjak saya masih ingusan sampai masih tetap ingusan kalau sedang pilek. Itu artinya, harapan bapak saya adalah kelak dikemudian hari janganlah ya saya jadi orang yang sombong dan kemlinthi walau sudah bisa mencheklist satu-satu impian saya.

Sedangkan Mundak menggeh-menggeh maksudnya adalah nanti kalian malah ngos-ngosan lo. Ngos-ngosan karena berusaha memenuhi citra diri yang sudah kalian gambarkan dalam kesombongan kalian. Capek sendiri karena pengin dikagumi sama pengamat (media) sosial karena mungkin prestasi, posisi, atau gaya hidup.

Okay, balik lagi ke topik pembicaraan. Jadi tulisan ini berawal saat saya (terpaksa) membaca berita-berita hangat di Indonesia secara on line dan beberapa video streaming yang disiarkan oleh beberapa stasiun TV swasta. Hal itu saya lakukan karena saya sedang mengejar deadline untuk menyusun materi pembelajaran untuk kelas Bahasa yang saya ampu. Sebagai seorang guru, maka tidaklah asing bagi saya untuk membuat materi pembelajaran biar dikira rajin oleh bos saya eh maksud saya biar siswa saya bisa belajar dengan baik di kelas saya. Berhubung sekarang tes standarisasi Bahasa dengan mengacu pada pemahaman tentang Bahasa secara menyeluruh sedang menjadi jenis tes yang kekinian, maka tidak pelaklah bagi seorang guru macam saya untuk menyiapkan materi yang isinya tentang pembelajaran Bahasa secara otentik yang Bahasa mainstreamnya authentic material. Authentic material adalah materi teks baik lisan, tulisan, ataupun audio visual yang dibuat oleh penutur asli untuk penutur asli pula. Contoh sederhananya adalah dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, authentic material itu ya teks yang dibuat oleh orang Indonesia untuk orang Indonesia juga. Untuk itulah, saya secara ndag langsung dipaksa buat baca dan nonton berita politik yang sekarang ini malah banyakan gosibnya.

Balik lagi ke topik tentang kedumehan yang ingin saya bahas di sini. Walaupun nota benenya saya belum begitu lama meninggalkan negeri saya tercinta, namun kok rasanya ada pergeseran moral yang cukup mencolok yang saya lihat belakangan ini. Ini apa karena dulu waktu saya masih di sana terlalu apatis? Atau memang sekarang saja orang-orang Indonesia yang suka pamer. Contoh sederhana saja ya, waktu saya iseng-iseng baca berita di media sosial. Lah kok isinya artikel-artikel yang menjelek-jelekan orang semua. Katakanlah cerita tentang anak-anak muda yang foto selfie sama Amaryllis yang dulu waktu kecil saya memanggilnya dengan nama kembang bakung, la kok ya media menuliskan kata-kata kasar nan menohok macam alay tolol, nggak berpendidikan, goblok dan lain-lain buat menghakimi adek-adek yang mungkin saja kurang nasehat dari guru atau sekolah. Jangan karena kalian ndag selfie di sana saja, kalian bisa dumeh bilang kalau kalian pinter dan ngerti kalau itu bunga ndag boleh diinjak-injang. Coba kalau kalian di sana, lak yo belum tentu kalian ndag nginjak. Gitu kok pakai koar-koar di medsos ngatain anak orang dan ngeshare artikel hinaan puluhan ribu kali.

Cerita lain yang nggak kalah menggelitik adalah video tentang anggota DPR yang sedang diwawancari. Subhanallah, bahasanya menggebu-nggebu sekali pakai diselang-selingi Bahasa Inggris yang mbah-mbah di Ndesoku pasti berfikir mereka bener-bener orang pinter tapi kenyataannya banyak yang nggak ngerti maksudnya apa. Iya bapak/ibu wakil rakyat, kami tahu sampeyan-sampeyan ini pasti udah sering keluar negeri dan ngomong pakai Bahasa asing, tapi mbok yao kalau lagi mau wawancara atau pidato yang dimuat di media masa omongannya disiapkan dulu, paling tidak dipikirkan kek. Ingat, yang denger Anda-Anda sekalian tu bukan cuma orang kota atau priyayi-priyayi di kalangan Anda. Tapi juga para petani kecil dan mahasiswa ndeso macam saya yang kurang nyaman (atau malah ndag ngerti) denger sampeyan-sampeyan ngomong diselang-selingi Bahasa asing (apalagi pronunciation-nya salah #oops). Mbok yao ojo dumeh pak buk mentang-mentang sampeyan ini kaum terpelajar. Awas lo nanti bisa menggeh-menggeh kalau yang denger reporter pinter nan kritis macam Mbak Najwa trus sampeyan semua di skak mat. Lak yo malah kojur to.

Lucu lagi saat saya lihat salah satu video di siaran berita kalau salah satu Anggota Dewan DKI Jakarta rewel minta tambahan uang jajan saat dinas gegara ndag bisa beli lobster. Ladalah kok ya bangetenmen kaya gitu sampai diomongkan di depan media. Apa ndag malu pak? Yang nonton ratusan juta jiwa warga Indonesia lo. Nggak semua orang bisa nangkep maksud baik bapak untuk mengingatkan gubernur DKI dengan opini semacam itu. Malah kebanyak orang bakal mikir bapak itu dumeh, pengen pamer kalau suka makan lobster.

Kalau kaya gini sebagai guru Bahasa Indonesia di negeri orang, saya pribadi jadi galau bagaimana saya harus membawa citra baik bangsa di mata dunia. Jujur, saya itu lo bangganya luar biasa jadi WNI apalagi WNI ndeso yang biasanya punya Bahasa Ibu dan Bahasa Nasional. Makanya, saya berniat mengenalkan kearifan nusantara dengan menjadi guru Bahasa Indonesia. Tapi kalau media memberitakan hal-hal yang (nyuwun sewu) ngisin-ngisini untuk rakyatnya sendiri. Bagaimana tega saya ikut menyebarkan berita tersebut ke manca negara?

La terus gimana authentic materialnya mbak?

Gimana ya mbak dan mas, yah terpaksa pilah-pilihlah, yang ujung-ujungnya saya sendiri tidak jadi mau dumeh sebagai orang Indonesia. Takut menggeh-menggeh kalau mahasiswa saya tahu sendiri dari media tentang keotentikan negeri saya. Wal hasil ya saya pilih aja berita-berita jadul yang rada mboseni. Biar ndag menambah spekulasi internasional tentang Indonesia. Yah sebagai rakyat kecil saya bisanya Cuma berdoa ya, semoga kedepannya bisa mendapatkan berita yang lebih berbobot untuk dibanggakan baik dari netizen maupun wakil rakyat di ibu pertiwi.

Suwun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun